tag:blogger.com,1999:blog-82174766432201271702024-03-07T21:34:19.585-08:00DONYA MEMANISING JAWAKANG KINARAN MULYA MONO DUDU SUGIHING BANDHA, LUHURING KALUNGGUHAN LAN UNGGULING PANGERTEN. NANGING MULYA MONO MAPAN ING MEMANISING ATI.
KEPENGIN NAMBAH GELARAN ING PANGERTEN JAWA
BISA KAWIYAK ING KENE : http//memanisingjawa.blogspot.comYAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.comBlogger17125tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-26229583019771939862014-10-23T04:27:00.002-07:002014-10-23T04:27:15.304-07:00<span class="fullpost">
Geguritane : Yan Tohari
MARANG BAPAKKU
durung sempurna parak esuk sumandhing rahina
kasisa bun ketungkul pepasihan klawan gegodhongan
ewasemana jangkahmu nggeret sapantha angin
kang leladhang saselane pang-pang randhu
bapakku, banjur ing ngendi mbokluru kecering wahyu
nalika tegal lan sawah selot ringkih kauntal mangsa
larik-larik tandurmu malik wesi-wesi prawasa
sing pijer ngiwi-iwi tangise emprit sing suwe kelangan teba
pak, prayoga lerema…
jaman wis kabanjut ing werit rumiting wewadi
saiki, sawah lan tegal dudu ijo royo-royoning tanduranmu
nanging satumpuk satru sing kareksa maewu-ewu asu?
Karangdowo, Klaten 2014
</span>YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-61470083160774102832011-04-16T18:16:00.000-07:002011-04-16T18:18:37.111-07:00Bali Mring Pranatan AlamOra jeneng leluwihan yen kudu ngersula, sambat lan sedhih. Jalaran wis pirang-pirang mangsa among tani gagal panen. Aja maneh panen, tandur wae angel urip. Prasasat entek amek kurang golek anggone mbudidaya murih bisa ngundhuh, ewasemana akeh nemahi cabar, gagar wigar tanpa karya. Geneya?<br />Dudu perkara gampang ngudhar perkara iki. Kalebu ngonceki underane, apa amarga ama, mangsa, lemah, apa pancen para among tani sing dadi uleganing perkara? Yen nyalahake ama, ama iku wis ana wiwit kuna. Yen mangsa, mangsa yekti dudu kuwasane manungsa. Banjur, apa lemah? Apa pancen para tani?<br />Manut paugeran kuna sing dijlumati lan pinercaya dadi andel-andele wong Jawa duking uni, yekti tetanduran mono dudu kuwasaning manungsa, nanging alam. Alam kang ngukir uriping tetanduran, prasasat ananing wongtuwa klawan putra-putrine. Iku kang nuli kaprah sinebut ibu bumi bapa akasa. Among tani duksemana tansah ngiblat mring laku alam. Sakaliring kang tinandur dadi tuwuh, lemah gemah ripah loh jinawi, jalaran kuwawa nunggalake jodho loro; ibu bumi lan bapa akasa, dene petani saiki apa mangkono?<br />Duksemana among tani ngugemi anane etung mangsa kanthi pranata mangsa. Jinis tanduran, kapan nandure, carane piye sarwa nut mring laku alam. Jalaran alam mlaku winengku kodrat. Nanging para tani saiki wis wani ninggal pranatan kasebut. Racake dumeh ana teknologi, kaya-kaya alam nedya kakendhaleni. Ninggal pranatamangsa, singlar mring kodrating laku alam. Kamangka samubarang kalir yen kaayahi tanpa manut aturane, adoh bathi cepak ing bilahi. Mangkono uga alam. Alam duwe ukum mesthi lan manungsa minangka perangan alam becike semadulur mring alam.<br />Ing kene becik, among tani bali maneh ing ngelmu para ngaluhur. Sing yekti ngelmu tetanene dudu kasurung dening karep murka, nanging murih piye alam bisa awet lan tuhu dadi warisan emas, kang piguna ing urip saiki lan mupangat ing tembe-mburi. Sumangga. (Wis kamot ing Mingguan Joglo Pos - Klaten, 11 April 2011)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-589855084013157402010-11-03T00:37:00.001-07:002010-11-03T00:38:45.843-07:00LEGENDA NYAI DLONGEHLEGENDA LEDEK NYAI DLONGEH<br />CERITA DARI KLATEN<br />Oleh Yan Tohari<br />Nyai Dlongeh adalah seorang ledek yang beranjak dewasa dari sebuah kampung kecil lereng perbukitan Diwon. Walaupun dari kampung tetapi suara, penampilan sekaligus kepiawaian olah tari sangatlah mumpuni. Maka tak ayal menjadikan Nyai Dlongeh mudah dikenal dan digandrungi para pecinta ledek. Dimana rombongan ledek itu keliling selalu mendapat perhatian dari masyarakat luas.<br />Hidup sebagai ledek memang sudah menjadi pilihan, karena dengan itu Nyai Dlongeh mampu memenuhi kebutuhan hidup yang sudah sebatang kara yang sejak kecil telah ditinggal kedua orangtua. Kini hidup Nyai Dlongeh menumpang di tempat pamannya yang sekaligus sebagai ketua rombongan ledek, yaitu Ki Bangkek. Saat habis panen rombongan ledek Nyai Dlongeh berkeliling sampai jauh keluar wilayah perbukitan Diwon. Ledek adalah bentuk hiburan yang ada dan murah saat itu, maka sewajarnya saat habis panen menjadi hiburan di kalangan rakyat kecil.<br />Jauh dari wilayah perbukitan Diwon, tersebut sebuah tokoh narapraja di Kerajaan Pajang, Tumenggung Kebolandhu. Tokoh ini memang kelihatannya ingin memanfaatkan peluang untuk merongrong kekukuasaan Adipati Benowo yang saat itu telah mulai redup. Apalagi Pajang kala itu pada posisi terjepit karena selalu mendapat desakan dadi Mataram yang kelihatannya mulai bersinar dan perkembang menjadi kerajaan besar saat diperintah oleh Danang Sutawaijaya.<br />Diluar pengetahuan Adipati Benowo, Tumenggung Kebolandhu merekrut para tokoh-tokoh yang tersebar di berbagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Tak ketinggalan pula seorang tokoh yang tinggal tidak jauh dari perbukitan Diwon, tepatnya di pucuk Gunung Beluk bernama Ki Joko Pekik. Seorang tokoh yang cukup sakti dan dihormati di sekitar Gunung Beluk. Tokoh yang terkenal memiliki area pertanian yang luas ini juga memiliki murid atau pengikut yang lumayan banyak. Kelebihan itulah yang mendorong Tumenggung Kebolandhu mendekati Ki Joko Pekik.<br />Saat hari menjelang senjakala, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu, yaitu Rumeksa dan Kulumbana mendekati lereng Gunung Beluk. Keduanya di utus untuk menemui Ki Joko Pekik. Tapi belum lagi Rumeksa dan Kulumbana menuju ke puncak Gunung Beluk, tanpa terlihat tanda-tanda sebelumnya munculah dua orang pemuda yang secara tiba-tiba menyerang kedua prajurit Pajang itu. Namun, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu itu bukan prajurit sembarangan. Walau serangan itu datang tiba-tiba, keduanya mampu mengelak. Untuk selanjutnya terjadi pertarungan antara mereka.<br />Merasa agak terdesak kedua pemuda lereng Gunung Beluk itu segera mengeluarkan senjata, namun Rumeksa dan Kulumbana tak menginginkan pertempuran itu berlanjut. Untuk sejenak keduanya terhenti, dan secara bersamaan mengeluarkan benda dari balik baju berupa lempengan logam. Itulah tanda atau simbol, jika Rumeksa dan Kulumbana adalah datang bukan sebagai musuh. Akhirnya pemuda lereng Beluk itu memahami, segera keduanya menghantar kedua utusan Pajang itu menemui Ki Joko Pekik.<br />Dihadapan Ki Joko Pekik, Rumeksa dan Kulumbana menyampaikan pesan dari Tumenggung Kebolandhu, bahwa narapraja Pajang itu untuk beberapa hari mendatang akan berkunjung ke Gunung Beluk. Sekaligus ingin mengajak bergabung dalam menyusun kekuatan merebut kekuasaan Adipati Benowo. Hal itu sangatlah disetujui oleh Ki Joko Pekik, sehingga sepeninggal Rumeksa dan Kulumbana tokoh dari Gunung Beluk itu mempersiapkan segala sesuatu, tak lupa sajian hiburan dengan mengundang Ledek Nyai Dlongeh.<br />Kedatangan Tumenggung Kebolandhu disambut meriah oleh Ki Joko Pekik dan para muridnya. Hingga sampai sajian hiburan Ledek Nyai Dlongeh ditampilkan. Tumenggung Kebolandhu sangat terkesan, apalagi melihat paras Nyai Dlongeh yang cantik, gerak tari lemah gemulai dan suara yang syahdu. Dari situlah timbulah niat untuk memperistrinya. Tapi niat itu ditahan, dan untuk lain kali Tumenggung akan berutusan punggawa memboyong Nyai Dlongeh ke Pajang.<br />Ternyata keinginan Tumenggung Kebolandhu untuk memperistri Nyai Dlongeh bukan main-main, di suatu hari datanglah dua utusan di perbukitan Diwon untuk mengambil Nyai Dlongeh. Walau akan diperistri seorang Tumenggung tapi Nyai Dlongeh tidak mau. Bahkan bujukan sang paman pun tak dihiraukan oleh Nyai Dlongeh. Entah apa sebabnya mengapa Nyai Dlongeh tidak mau, seperti ada sesuatu rahasia yang disembunyikan.<br />Atas sikap Nyai Dlongeh yang tak mau menurut itu tentu saja membuat dua utusan Tumenggung Kebolandhu marah. Tak ada cara lain kedua utusan itu menggunakan kekerasan dalam melaksanakan tugas. Ki Bangkek, melihat kejadian itu tidak terima. Maka segala upaya dilakukan untuk menghalangi niat kedua prajurit Pajang tersebut. Sayang, tugas berat yang dilimpahkan terhadap prajurit itu membuat keduanya bertindak secara kasar. Ki Bangkek terpaksa dilumpuhkan, dan Nyai Dlongeh berhasil di bawa ke Pajang.<br />Beberapa hari tinggal di keputren katemenggungan seakan di neraka yang dirasakan Nyai Dlongeh. Hatinya begitu hancur, kesedihannya serasa memuncak saat teringat akan nasib beberapa orang yang ikut rombongannya. Tak lupa dengan penderitaan Ki Bangkek yang tentu saja selain menderita raga juga tak memiliki penghasilan karena kegiatan pertunjukkan ledek keliling terhenti.<br />Hingga saat malam tiba, Tumenggung Kebolandhu menghampiri Nyai Dlongeh. Hasrat yang membuncah di dada Tumenggung Kebolandhu sudah tidak tertahankan, maka segera dihampiri ledek itu untuk memenuhi syahwatnya. Atas kekuatan yang dimiliki Tumenggung, Nyai Dlongeh tak berdaya. Namun tindakan kasar Tumenggung terhenti, dia terkejut dan marah. Maka segera meninggalkan Nyai Dlongeh di dalam kamar dan buru-buru mencari prajurit.<br />Malam itu juga Nyai Dlongeh di suruh untuk dipulangkan. Sungguh tidak bisa dilukiskan betapa kecewa, malu, dongkol dan marah hati Tumenggung Kebolandhu, saat tersingkap keaslian Nyai Dlongeh. Ya, malam itu Tumenggung Kebolandhu tahu bahwa sebenarnya ledek yang memikat hatinya itu sebenarnya bukan asli wanita. Paras cantik dan gerak tari yang gemulai itu tak sesuai dengan apa yang digambarkan dalam benak Tumenggung, sebab Nyai Dlongeh adalah seorang waria. <br />Prajurit yang dipercaya memulangkan Nyai Dlongeh malam itu dibekali senjata keris lan tali. Atas rasa kecewa yang memuncak dan rasa malu maka Tumenggung Kebolandhu tidak ingin Nyai Dlongeh pulang dalam keadaan hidup. Prajurit itu diutus untuk membunuh Nyai Dlongeh saat sampai di perkampungannya. Pusaka keris untuk membunuh, dan tali yang terbuat dari benang putih untuk mengikat mayat Nyai Dlongeh diatas pohon.<br />Malang memang nasib yang menimpa Nyai Dlongeh, malam itu, saat telah sampai di wilayah yang tidak jauh dari lereng Diwon di suatu gerumbul Nyai Dlongeh di bunuh. Mayatnya diikat di batang pohon dan ditinggal begitu saja. Darah yang menetes jatuh ke tanah membuat tanah itu menjadi tanah sukerta. Artinya, sampai saat itu siapapun tidak boleh menanami tanah gerumbul itu. Pernah ada yang nekat, menanami gerumbul itu dengan tanaman kedelai. Namun saat kedelai itu dipanen dan di makan, maka sekeluarga itu menderita sakit diare. Sampai sekarang tidak ada yang berani mencoba menanami kembali.<br />Pagi harinya warga perbukitan Diwon menjadi gempar saat ditemukan mayat Nyai Dlongeh yang tertambat dipohon Belimbing. Dikemudian hari kampung dimana mayat Nyai Dlongeh ditemukan diberi nama kampung Blimbing. Maka segera mayat itu dirawat dan dikubur di tanah tidak jauh dari tempat tinggal Ki Bangkek, tepatnya di perbukitan Diwon. <br />Saat malam tiba, pada suasana yang begitu hening Ki Bangkek meratapi hidupnya juga kehidupan keponakannya Nyai Dlongeh yang bernasib tragis. Mengapa celaka nian nasib yang menimpa pada kehidupannya. Saat sepi kian menjelang, Ki Bangkek dibuat terhenyak ketika dihadapannya melintas bayangan Nyai Dlongeh. Bayangan itu seraya berucap “Bapa Bangkek jangan bersedih hati, kini aku telah hidup bahagia. Pesanku jangan bangun kuburku sampai kapanpun. Sebab aku ingin segalanya apa adanya. Dan ingat, saat nanti apabila ada satriya dari selatan yang jiarah di kuburku, maka orang itulah yang akan membalaskan kekejaman yang aku terima.” Demikian kata-kata samar terucap dan terus diingat oleh Ki Bangkek.<br />Beberapa bulan kemudian Ki Bangkek ditemui seorang pemuda yang berkeinginan mau bertapa di bukit Diwon. Laki-laki itu mengaku datang dari selatan, persisnya wilayah tepi Laut Kidul. Pemuda itu mengaku bernama Mas Tompe. Batin Ki Bangek teringat akan pesan Nyai Dlongeh, mungkin pemuda ini yang akan memberikan kepuasan akan ratapan nasib sedih yang menimpa selama ini. Maka betapa gembira hati Ki Bangkek, dendam kepada Tumenggung Kebolandu akan segera terbalas.<br />Mas Tompe sampai beberapa hari bertapa di bukit Diwon, dan akhirnya pemuda itu berpamitan kepada Ki Bangkek untuk meneruskan perjalanannya. Pemuda itu berjalan ke utara, ya semakin jelas apa yang dipesankan Nyai Dlongeh bahwa orang ini yang akan membalaskan dendamnya kepada Tumenggung Kebolandhu. <br />Betul memang, Mas Tompe yang akhirnya berkuasa di Pajang. Dan atas niat yang terungkap bahwa Tumenggung Kebolandhu menyusun kekuatan untuk merongrong Pajang maka diberikan hukuman mati. Kabar atas hukuman mati terhadap Tumenggung Kebolandhu sampai pada Ki Bangkek, betapa gembira dan bersyukurnya paman Nyai Dlongeh mendapat kabar itu. Hingga akhir hayat Ki Bangkek tak meninggalkan kawan bukit Diwon, maka daerah itu akhirnya diberi nama kampung Bangkek. (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-24014427067870974882010-08-24T03:01:00.000-07:002010-08-24T03:03:07.805-07:00Sluman-Slumun SlametSlamet apadene keslametan dadi underan wigati jroning sadhengah wewengkon panguripan. Kepara ing Jawa bab iki dadi napas sing tansah kumedher ing saben-saben wayah, embuh iku ing laku spiritual, seni, budaya, lan gatra laku apa wae. Ora aneh ing Jawa ana donga slamet, wong jenenge Slamet, piyandele arane Kyai Slamet, lan ingon-ingone wae kawenehi jeneng Si Slamet. Yekti slamet, dadi impen, idham-idhaman lan pucuking panjangka sing tanpa ana wates lan bontose.<br /> Kamangka ing kasunyatane urip datan mangkono kang lumaku. Ing panguripan iki sarwa kawengku ing loro kodrat kang tansah lumaku kosokbalen, sing siji tansah kabudi lan siji maneh kasingkiri, yaiku ana padhang ana peteng, ana bungah ana susah, ana begja ana cilaka, ana slamet lan ana apes, mangkono sapiturute. Amarga arane kodrating urip, mesthi wae tan ana sijia kang bisa endha saka kekarone. Kabeh dadi temalining urip kang sarwa ngreka saengga dadi wirama kaendahan siji lan sijine. <br />Lupute nampa pepadhang bakal nyangkul pepeteng, lupute nampa begja mesthine nyandhang cilaka, lupute slamet bakal nampa apes, mangkono kuwi terus sapiturute. Ewasemana budhal saka panglenggana kasebut, katambah manggon jejering titah, bebrayan Jawa emoh ngono wae ngalah saka araning kodrat. Awit, urip manut pangerten Jawa iku obah. Obah bisa ditegesi ikhtiyar, ing kene ana kapitayan yen mburu pepadhang, begja, bungah, teka keslametan dadi wajibing urip. Nadyan wekasane saben-saben pambudi mau tansah kawungkus klawan kesadharan nrimah mawi pasrah apadene nrima ing pandum.<br />Pancen tinemu ukuran mligi mungguhe bebrayan Jawa kanggo milahake ing kinaran slamet ing urip. Kanthi cara kang kaprah mbokmanawa kang kaaran slamet yaiku sarwa-sarwi ketemu begja. Sakaliring panjangka kang kawawas dadi tambahing kamulyan bisa karengkuh tanpa ana sambikala. Niskala, nirbaya, nirwikara. Upamane ta kesandhung bebaya, sakabehe bisa kaadhepi lan kaudhari saengga bebaya mau tan kuwawa nyabarake laku. Kawujudan kang mangkene iki mbokmanawa ukuran slamet kang akeh ditegesi ing berayan akeh, kinaran slamet yen ta tan nate kacuwit dening saru-sikuning urip.<br />Manawa bener mangkono, mbokmanawa slamet iku sawijine kang mokal kelakon. Awit sakaliring kang tumitah mono ora bisa uwal saka kurang, lali, lan apes. Mula pamengkune slamet iku satemene ana ati. Ukuran slamet mring pangerten Jawa bisa katilik saka ujaring para pinter ing kene, dening RMP Sosrokartono katandhesake urip slamet iku linambaran telung ukara, yaiku legawa marang apa kang wis kelakon, trimah marang apa kang dilakoni, lan pasrah marang apa kang bakal kelakon. Nuli teteluning ukara mau kawungkus klawan telung tembung trimah mawi pasrah.<br />Dene jroning pupuh Gambuh kang tinemu ing Serat Wedhatama yasa Sri Mangkunegara IV kawedharake ; meloking ujar iku, yen wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel marang ing takdir, iku denawas denemut, denmemet yen arsa momot. Katambah ing Wirid Hidayat Jati (RNg. Ronggowarsito) kapratelake yen apesing urip iku sarwa kajalari dening limang tumindak raga (ulah crobo, laku nistha, tingkah degsura, sarwa kesed sungkanan lan lumuh nastapa pujabrata) lan limang tumindak jiwa (ngumbar hawa nepsu, ngumbar suka-renaning karsa, anggelar ambeg angkara, amedhar watak dora paracidra lan anuruti budi pitenah aniaya). <br />Mangkono slamet kategesi ora banjur urip lurus tanpa sengkala, nanging mapan ing wani mring garising takdir lan ngugemi wewatoning bebener. Istingarah sing kinaran apes, lamun kinunjara was sumelang mring pepesthi sarta ringkih ing bebener. Kanthi kuwawa ngalahake rasa was sumelang ing sadhengah wewengkon urip, gilir-gumantining napas lumaku mardika. Bebas saka sesangganing pikir, adoh saka kunjaraning culika. Iku kang kinaran sluman-slumun slamet . (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-88970826203757845352010-08-24T02:57:00.000-07:002010-08-24T02:59:55.257-07:00Ngudi Kuwating Akal lan PikirKeri-keri iki akeh sesambat kang keprungu ing bebrayane wong cilik. Prasasat matumpa-tumpa wujuding sesanggan, durung rampung siji wis njedhul liyane. Endi among tani sing gagal panen awit trajange wereng coklat, endi para wongtuwa sing kabotan mbayar waragat sekolah anak, kasambung reregan kang ndedel, malah kompor gas sing kerep mbledhos katon melu nyaur wuwus. “Tobel…tobel…,” mangkono Uwa Kerta tangga tunggal pager keprungu rerantan sambat-sambat.<br />Sambat. Ngersula. Ngaru lara. Saweneh wujud pratelaning titah kanggo nelakake aboting sesanggan. Nanging sejene kuwi sesambat pancen sithik bisa nipisake wujud sesanggan. Ewasemana yen sabanjure kerep sesambat, istingarah ngringkihake batin. Lamun batin wis ringkih, adhakane pamikir tumuli kewuhan kanggo metungake bener apadene luput. Kang mangkene iki kang wekasan nukulake tumindak nasar.<br />Kawujudaning tumindak nasar mau tinemu werna-werna, kang dening saperangan bebrayan kaanggep dadi cara sing pungkasan – ora ana liya. Kamangka iku mau thukul saka pamikir sing buntu, pethaning pamikir buntu wis mesthi keladuk wani kurang deduga. Kala-kala tindak nasar bisa gawe rugining dhiri pribadi, lan bisa uga gawe pitunaning liyan. <br />Kacupeting pikir, akeh bebrayan saiki nganyut tuwuh minangka dalan pungkas. Iki cara sing banget gawe rugi dhiri pribadi. Saperangan ana kang wani nekat, kayata awit kasurung dening pikir puteg lan kaesuk werna-werna kabutuhan sing wis angel diupadi cara pangudhare, terus wani colong jupuk, ngrampog, njarah-rayah lan sapanunggalane. Kang mangkene iki genah cara sing ngembet marang pitunaning liyan.<br />Salugune ing urip mono ora ana kang luput saka sesanggan. Saka jaman lumaku ing jaman liyane, titah sarwa winengku dening sesanggan. Kang mbedakake amung sebab kang dadekake anane sesanggan mau. Gusti Kang Maha Kawasa, yekti nitahake janma sarwa tingeran akal lan pikiran. Akal lan pikiran kang nglungguhake manungsa minangka kawula kang luwih mulya katimbang titah liyane. Wondene sesanggan sawijine cara kanggo nguji titah sepira kuwanene migunakake akal lan pikiran jroning urip.<br />Pancen dudu perkara gampang ngemonah sesanggan klawan kekuwatan akal lan pikir. Mula ora aneh amung siji loro kang lulus kanggo bisa migunakake. Jalaran saben-saben akal lan pikir ora kabeh kagladhi, kawulang lan kacoba ngudhari werna-werna sesanggan. Luwih-luwih ing jaman saiki, akal lan pikir prasasat kagawe kethul dening gebyar donya. Tundhone nadyan amung kaesuk dening perkara sepele wae wis akeh sing nglumpruk, manungkul lan kalah, lan saperang tinggal glanggang colong playu.<br />Nuli kepriye mungguh ngracik akal lan pikir sing kuwat? Wangsulane ana ing tembang Kinanthi kang tinemu ana Serat Wulangreh “padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.” (*).YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-4707733554149284202010-07-05T03:24:00.000-07:002010-07-05T03:26:27.120-07:00Wigatine Ngelmu lan Lakudening : Yan Tohari <br /><br /><br />ngelmu iku<br />kalakone kanthi laku<br />lekase lawan kas<br />tegese kas nyantosani<br />setya budya pangekese dur angkara<br />(Pocung, Serat Wedhatama Yasane Mangkunegara IV)<br /><br /> Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Mangkono uga kang wis dadi laku ing sawetara dina kepungkur. Saweneh ada-ada pendadaran kang kaprah sinebut UN (Ujian Nasional), mujudake piranti pangukur mring kasil lan orane pelajar ngrampungake pawiyatan. Pendadaran aran UN kang kuwawa nglairake werna-werna tumindak, saka gorehing kaum pelajar, was-sumelang para wongtuwa nganti teka pihak-pihak kang nggunakake kanggo kauntungan pribadi.<br /> Ujian Nasional kang trep-trepane teka seprene isih ngemu perdondi - antarane pro apadene kontra - pancen katetepake minangka laku ing pangukur pamungkas mungguh kasil orane siswa ngliwati pawiyatan. Saengga saka kawicaksanan kasebut nglairake panyakrabawa yen lakune pawiyatan prasasat manggon klawan angka-angka ing pandadaran pamungkas iku. Istingarah nyurung pambudi entek-entekan para pelajar apadene wongtuwane murih ujian pamungkas bisa kasil utawa lulus. Emane pambudi sing ngono iku asring nglirwakake angger-angger utama, kang ngregeti kaluhurane pawiyatan.<br /> Lamun kita gelem nyemak klawan apa kang nate katuturake Drs. RPM Sosrokartono, tokoh kang uga kawentar minangka kadang sepuhe RA Kartini iki nggarisake mring wigatine laku ing ngelmu. Manut priya kang kacathet minangka wartawan New York Herald iki, yen ing ngelmu kudu cumondhok anane laku. Dene laku iku arupa manembah mring Gusti lan ngabdi mring sesami. Sawijine pangerten kang nengenake kautaman sarta mengku ing kamulyaning liyan, dudu milik gendhong lali.<br /> Tokoh kang uga kawentar kanthi sesebutan Mandhor Klungsu iki miterangake wigatine laku jroning ngelmu ing larikan tembung mangkene ; ngawula dhateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip. Memayu awoning gesang : nyuwita, ngawula, bakti dhateng sesami. Lampah kula tansah anglampahi dados kawulaning sesami, tansah anglampahi dados muriding agesang. Wajib tiyang gesang sinau anglaras batos saha raos.<br /> Priyagung putra Bupati Jepara RM Adipati Ario Sosroningrat lan kang kacathet minangka cendikiawan tamatan Universitas Leiden, Walanda iki luwih tlesih nandhesake yen sejatining laku ing ngelmu kudu wewaton ing bebener. Awit saka kuwi bangku pasinaon dudu siji-sijine tuk sumbering ngelmu. Satemene jroning urip lan panguripan padinan akeh gumelar ngelmu kang tanpa wilangan. Ing sakiwa-tengen kita tinemu ngelmu wigati sing kuwawa mbasuh marang kasampurnaning urip sarta mentesake rasa.<br /> Pratelan iku karacik maneh jroning tembunge; pamulangane sengsarane sesami, sinau ambelani lan ngraosaken susah lan sakitipun sesami. Inggih punika ngraosaken lan nyumerepi : tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa lan tunggalipun asal. Kanthi mangkono sawijine ngelmu datan darbe aji lamun lakune datan memayu hayuning bawana, tresna asih mring sesama. Balik ing kasunyatan saiki, ngelmu kayadene winates ing semu. Dhuwuring pendidikan lan gelar durung bisa dadi ukuran marang ngawula dhateng Gusti lan memayu ayuning urip. Kepara lamat-lamat nuduhake setya budya pangekesing durangkara.<br /> Maragage yen mindeng kanyatan kang lumaku keri iki, terus katandhing klawan apa sing katuduhake tokoh-tokoh duking uni, salah-sijine RMP Sosrokartono, ateges kita mencelat mundur adoh. Jalaran sing lumaku ing wektu iki bebrayan amung winates ngagungake asil, datan ngemonah laku. Angka-angka Ujian Nasional kang dadi ukuran kasil lan orane pawiyatan siji-sijine bab kang kawawas luwih penting. Dene pakarti sing murugake apike angka mau datan kapetung. Embuh culika apa utama, waton lulus iku wis rampung.<br /> Eman ngelmu jaman saiki amung ditengeri klawan angka, dluwang sasuwek utawa embel-embel gelar. Saka ngendi asale angka, dluwang lan gelar? Kanthi kepriye carane mbudidaya? Kala-kala ucul saka pamengku ngabdi mring Gusti lan memayu ayuning sesami. Datan mokal wasis lan pintere, gelar lan kasarjanane asring dadi underaning kanisthan. Kekejemaning para priyagung kang wuru terus nindakake korupsi dudu winates ing urusan weteng, nanging kamurkan lan kasrakahan kang aneh.<br /> Kapinteran sing kaluru kanthi mikolehake sakaliring cara tanpa kaslempitan larasing batos lan raos, angel kadumuk atine nadyan nguningani kasangsarane sesami. Ngendi-endi kawula ketaman bencana, penyakit, nganggur, urip kesarakat, lsp ewasemana ati tetep kepengin malak. Supe marang sing winastan tunggal manungsa, tunggal rasa lan tunggal asal. Urip kawawas urusane aku lan kulawargaku, aku lan sedulurku sarta aku lan golonganku. Malah kalamun wenanga jagad kaya-kaya nedya kakukut kanggo dhirining pribadi. Gumun setaun, jembleng serendheng.<br /> Wekasane pancen ngelmu iki tetep wigati jroning numapaki ombah-mosiking jaman. Awit sakaliring bab kang sesambungan klawan urip lan panguripan kudu kaayati klawan ngelmu. Nanging sabisa-bisa ngelmu ora winates ditegesi pinter, prigel lan kendel, nanging uga winengku marang laku utama, ngabdi mring Gusti uga ngawula mring kawulaning Gusti. Perlu karacik ukuran tumata tumrap kang kaanggep putus ngelmune. Sawijine bangsa bakal rusak lamun winengku klawan wong-wong bodho. Nanging bakal tambah rusak yen winengku wong pinter nanging murka lan srakah. Ngaten!YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-12775294613332469392010-07-05T03:20:00.000-07:002010-07-05T03:24:05.594-07:00Witing Tresna Jalaran Saka KulinaYan Tohari (Sanggar Pari Sawuli – Karangdowo, Klaten) <br /><br /><br />Saweneh kanca wanita teka klawan gembol pitakon, “Geneya awakku dadi kasengsem klawan dheweke?” Durung nganti penulis paweh tanggapan, dheweke takon maneh,”Apa bener iki sing diarani witing tresna jalaran saka kulina?” Yah, pitakon sing keri iki pancen wiwit suwe lan teka seprene pantes dadi rembug. Waiting tresnen jalaran saking kulinten - , mangkono budayawan Darmanta Yatman asring ngandhakake - pancen asring nuduhake kekuwatan, lamun unen-unen Jawa iku dudu ngayawara.<br />Amung emane unen-unen kasebut dening sawetara pihak ditegesi klawan werdi kang banget rupak. Kadidene kancane penulis ing ndhuwur, witing tresna jalaran saka kulina asring diraketake klawan crita tresna antarane priya lan wanita. Kamangka kulina utawa tumindak kang mawola-wali katindakake kanthi ajeg (pakulinan), iku bakal nuwuhake tresna ing apa wae. Datan ngemungake perkara asmara. <br />Ora aneh para pinter Barat nyebutake lamun satemene pribadi kita iki tuwuh utawa cures kadayan saka apa kang dadi pakulinane. Embuh salah embuh bener, waton dadi pakulinan bakal katresnani lan kuwawa maujud dadi ciri-wanci (karakter), utawa budaya tumrap saweneh kaum/bangsa. Budaya positif (utama), ngemu panduga bakal jaya. Kosokbaline budaya negative (ala), paweh kalodhangan kanggo sirna. <br />Budhal anane panemu iki becik kita nlesih maneh klawan apa sing dadi pakulinan kita, munggahe mring budaya bangsa iki. Apa kulina males, mesthi dadi pribadi kang lumuh. Apa kulina nabung mesthi dadi pribadi kang sugih, apa kulina apus-apus mesthi wae dadi pribadi kang julig, apa kulina saru mesthi dadi pribadi lekoh? Apa kulina sinau mesthi dadi wasis, apa kulina gegladhen mesthi bakal dadi trampil?<br />Umume pakulinan ala luwih gampang lan karasa nikmat ing wiwitane kanggo katindakake, katimbang saweneh pakulinan becik. Nanging kekarone yen katindakake, padha-padha bisa nuwuhake rasa tresna utawa nggathok. Salaras klawan wujud tindake, ing undhuh-undhuhane uga bakal tinemu loro kanyatan. Kulina becik tuwuh becik lan kulina ala bakal tuwuh ala. Bab kang wis dadi pakulinan, merlokake kuwanen sarta kekuwatan luwih kanggo ngowahi. Luwih-luwih yen pakulinan iku ing kaalan.<br />Jumbuh klawan unen-unen ing ndhuwur, samesthine kita gegulang klawan pribadi kita mring pakulinan utama. Awit pakulinan utama sing kuwawa nuduhake kaluhuran jejere manungsa. Saben-saben pribadi bakal darbe rega lamun bisa nuduhake kadarben kang utama. Dene kadarben sing ala amung selot ngringkihake ajine manungsa iku dhewe. Korup, saru, ngamuk, julig, rakus, lan sapanunggalane, ngatonake ing pribadi mau wis tan metungake maneh ing sipating janma. (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-41712904356377694772010-06-06T06:52:00.000-07:002010-06-06T06:57:32.526-07:00Cerkak : KOTANGdening : Yan Tohari<br /><br />“Kandhakna, yen aku wis ora tresna maneh karo kowe, Nur. Ngono Kang, kandakna!” isih esuk, nanging swara iku sasat mercon kobong kemrotok saka lambene Menur. Wong wadon iku katon ngame-ame sing lanang, Surasa. Dene sing lanang kang karepe ngetokake becak amung meneng sarta bingung klawan apa kang katindakake bojone. Embuh marga apa, yen dhuwit etuk-etukane wingi sore sing mulih nggawa dhuwit limolas ewu thok wis dipasrahake kabeh. Embuh setan gundhul ngendi sing manjing ing bun-bunane Menur, weruh-weruh kok ngamuk punggung sura tan taha.<br /> “Hayo, cepet Kang. Ora mung lingak-linguk api-api ora ngerti!” Menur katon tambah muntab awit datan katanduki klawan sing lanang.<br /> “Kowe kuwi ana apa ta Nur?” Surasa selot bingung.<br /> “Ana apa-ana apa! Api-api ora ngerti, apa pancen kumbi? Wong lanang bejat!”<br /> “Aku pancen ora ngerti tenan, Nur. Ana apa iki?”<br /> “Ora ngerti? Wong lanang cluthak! Wis mlarat kakehan tingkah,” mripate Menur pendirangan, selot muluk bramantyane. Saiki ora mung swara kang jumbedher nanging tangane uga wiwit ngamuk, abrak-abrak sing kacandhak disaut, dibanting, kauncalake menyang njaba. Ompreng kabanting, piring kasaut dikeplekake, sumyur dadi sawalang-walang. Esuk iku, esuk kang aneh ing gang Prenjak, gange para tukang becak ing kutha iki. Kahanan kuwi dadekake para tangga teparone padha nyawang klawan panyawang aneh. Aneh, nyata-nyata aneh.<br /> Pancen padu, rebut etung lan gegeran liyane dadi rerenggan mligi ing gang iku. Werna-werna sebabe, embuh dhuwit sing kurang, kalah main, mendem, apa merga konangan anggone dhemenan, lan liya-liyane. Nanging apa kang dumadi ing kulawargane Menur lan Surasa pancen kaanggep aneh. Menur, wong wadon sing luwih patang taun iki ngrenggani uripe Surasa kawawas wong wadon kang kondhang meneng. Dheweke ora kaya wong wadon liyane sing tansah ngomong kurang, nadyan dhuwit sapira-pira diwenehake sing lanang. Menur wanita kang nrima ing pandum, sajake dheweke nglenggana Surasa kang amung tukang becak pancen hasile sarwa tipis. Karo maneh becak harak wis wiwit kaanggep nyebeli ing sawetara kutha-kutha gedhe, untung wae ing kutha iki tetep nganggep becak isih patut ana.<br /> Ewasemana esuk iku, Menur katon dudu kaya biyasane. Wong wadon iku ilang sipat menenge malih dadi landhep lan galak. Embuh kadayan saka apa. Nanging mesthi iki saweneh bab kang paling gawe atine serik. Ewasemana Surasa ora paham marang apa sebabe. Semono uga tanga-tanggane ngrasakake aneh klawan lageyane Menur.<br /> “Ana apa ta Menur kuwi?” pitakone Yu Jati klawan Warinah.<br /> “Embuh, mbokmanawa Surasa kalah main,” sambunge Warinah.<br /> “Wong wis kalah kok dadak nesu,” Yu Trinah melu nyaut.<br /> “Ning aneh, lho. Ora tau-taune Menur tumindak ngono,” Yu Jati pratela.<br /> “Ya, sapa ngerti Surasa duwe dhemenan,” Warinah nyambung maneh.<br /> Mangkono kaelokan ing omahe Surasa esuk iku padha dadi rembug. Nanging Menur datan mendha, saiki wis meh kabeh isen-isene pawon padha mencelat ana njaba. Ompreng, wajan, kendhil lan ember-ember katon pating blesah ngebaki gang kang pancen wis ciut lan rupak iku. <br /> “Eling, eling Nur, kowe kuwi ana apa. Ana perkara ya dirembug aja mung terus ngamuk ngono kuwi,” Surasa sajak ngarih-arih bojone. Nanging Menur kang krungu tembunge Surasa iku malah kepara kaluwih-luwih pangamuke. Sawuse marem bisa ngowat-awut isining pawon, saiki Menur bali mlayu ing njeron ngomah. Saiba kagete Surasa bareng metu ing tangane bojone wis gegem kenceng lading kang kulina kanggo iris-iris ana pawon. Mripate Menur abang angatirah, prasasat mripate Bethari Durga kang lagi kalab lan kobar atine.<br /> “Saiki ngaku ora kowe, wong edan,” tembunge Menur klawan ngrangsang awake Surasa. Tujune Surasa pinter ngendhani lan murih ora kedawa-dawa bratayuda esuk kuwi, Surasa tumuli nyengklak becake lan nggeblas. Menur amung bisa mencak-mecak nalika meruhi Surasa wis ilang ing enggokan gang lan tumuju dalan gedhe.<br /> Srengenge wis katon dhuwur, panase wis krasa sumelet. Sadawaning dalan pating sumliwer kendharaan oyak-oyakan ninggalake lebu kang kasaut angin terus sumebar ing akasa, kang wekasane tumiba ing pucuk-pucuk suket. Siji loro pemulung wis katon nlusur sauruting dalan klawan kranjang ing gegere. Jangkahe katon kaseret klawan pandeleng landhep,mbokmanawa ana barang kang bisa dijupuk kanggo ngiseni kranjange lan ateges dina kuwi entuk-entukane mentes.<br />Dene Surasa terus nggenjot becake nurut dalan sing kulina dadi areal makaryane. Atine isih geter campur getir nanduki lelakon sing nembe wae tumama ing uripe dina iku. Salawase urip bebrayan karo Menur lagi iki Surasa ngrasakake yen wong wadon kuwi ngetokake pangeram-eram. Banjur apa sebabe? Iki kang teka iki dadekake Surasa tetep bingung. Bingung setaun jembleng sarendheng. Ana underan apa geneya bojone bisa munclak kanepson prasasat kaya ngeleg-elega jagad. Katlusur mbokmanawa ana kang salah tumrap dheweke, nanging tetep wae Surasa ora kuwawa mbuka.<br />Sawuse ngliwati prapatan ing penere dalan kang rada lindhuk Surasa ngerim becake. Kepeneran ing sisih tengen dalan ana wit-witan kang edhum, Surasa kepengin lungguhan ana ngisor wit kono pisan nggawe ngarihake napas lan nentremake ati. Becake kainggirake sabanjure medhun lan nentremake ati ana pener ngisor wit trembesi. Angin alus ngobahake gegodhongan sarwa nyisakake hawa silir ing awak, Surasa nyoba unjal ambegan landhung kanggo nguncalake seseging dhadha. Ewasemana tetep ngalela ana tlapukane mripat tumrap tumindake bojone sing katon kliwat wates dina iki.<br />Rasa nggrantes tan kocapa rumambat ing padoning rasa. Ora krasa ana luh kumembeng ing mripate, nanging sarosane priya kanthi pawakan cilik iki budi, luh iku aja nganti tumetes. Panyawange kepara kabuncang ing awang-awang, katon ana manuk sriti kekejeran nantang sumiyuting angin, mardika, kumeplas ing jagad jembar, tanpa sanggan tanpa panandhang. Ing kene tuwuh panglenggana kang landhep ngiris atine Surasa. Trawang-trawang ngalela ing angen-angene tumrap kahanan uripe sing teka iki isih katindhih ing werna-werna perkara.<br />Embuh wiwit rekasa kanggo nyukupi kabutuhan padinan, nyukupi sandhang lan pangane anak loro lan bojone, wragat sekolah, kalumrahan, lan kala-kala pepenginan kang ora kena diampah beteke emoh kalah klawan kiwa tengene. Pancen, rerangken kabutuhan sing katone sepele kuwi wae ing pundhake Surasa wis krasa abot, abot temanan. Kuwi wae direwangi awan bengi kudu ngliyeg kanthi becake, kathik wani telat mbayar setoran sewa becak, utang kana utang kene, lan sawernaning kupiya liyane kang nuduhake pambudi kang sarwa rumpil. Tan karasa panggagas iku nuwuhake sagunung rasa dosa, yen jejere wong lanang tan kuwawa mulyakake kulawarga.<br />“He Surasa, ngapa kowe nyengkruk ana kono?” saweneh swara keprungu sora nratas angen-angene Surasa kang lagi ndedel muluk. Sakala wong lanang iku njola.<br />“Ngapa kowe thelah-theloh ana kene?” Pardiman kanca mbecake iku nyedhak ing sangisor wit trembesi lan ngambali pitakone.<br />Surasa ora age-age wangsulan, atine isih getir dening swarane Pardiman kang tanpa sraba-sraba munggel lamunane.<br />“Ngapa Kang, awakku lagi ora penak,” wangsulane Surasa sakenane.<br />“Ora, ngono lho. Kowe mau ditakonake karo Si Sarnem, sajak ana kecan apa piye?” Pardiman mesem sajak nggembol rasa cubriya.<br />“O, nggagas urip wae repot Kang, kok wani-wanine mikir Sarnem.”<br />“Lho, aja ngono Sa, urip iki wis rekasa, aja mbokpikir kanthi rekasa. Mula kudu ana hiburane. Aja ndlujur, ha…ha…,” Pardiman sing kulina ceplas-ceplos nanduki Surasa klawan ngguyu ngakak.<br />“Banjur ana apa ta Kang, Sarnem kok nggoleki aku?”<br />“Lho…. Lha, kowe ta kudune sing luwih ngerti. Isih duwe utang ra?”<br />“Yen kurangan ya duwe, wong lagi wingi kok wis ditagih, iki wae durung oleh angkatan, sing nggo mbayar apa? Dhengkul?” Surasa ora bisa ngampah rasa mangkel.<br />“Perkara sabenere aku ya ora ngerti, Sa. Pokok Sarnem meling yen kepethuk kowe, kowe ndang kon mrana,” kandhane Pardiman sajak serius.<br />Atine Surasa tambah kemetir, gek ana apa iki. Sarnem, randha kang marung pecel iku meling-melingake dheweke. Rumangsane dheweke ora duwe urusan, nanging nadyanta mangkono ora tau-taune wong wadon randha sing kojahe gampang digodha kanca-kancane tukang becak kuwi melingake dheweke. Mesthi iki ana perkara wigati, mangkono batine Surasa kandha. Nanging banjur apa? Kumudu-kudu Surasa jumangkah murih enggal tinarbuka ana lelakon apa maneh ing dina iku. Agahan Surasa menyat saka lungguhane lan nggeblas nuju warunge Sarnem.<br />Nalika tekan kang katuju, kapinujon kahanan warung rada sepi.<br />“Ana apa Nem, kok kandhane Kang Pardiman awakmu melingake aku?” ora sranta sawuse lungguh ana lincak Surasa enggal pitakon.<br />Sarnem ora enggal wangsulan kepara randha kang isih nyisakake praupan kang manis iku mesem kebak teges. Atine Surasa tambah trataban.<br />“Age Nem kandhakna,” Surasa tambah ora karuwan.<br />Isih kabuntel esem sarta polatan kang aneh, Sarnem tumuli aweh wangsulan.<br />“Nanging sepurane dhisik ya Kang, iki duwekmu ta?” kandha ngono Sarnem klawan nuduhake andhuk cilik kanggo lap kringet darbeke Surasa.<br />“Iya, ning wingi ketoke wis daksaki lan dakgawa bali, ki,” Surasa nanggapi.<br />“Dudu iki sing mboksaki Kang, mbokmanawa kesusu ana pemehan kono kowe salah nyaut,” Sarnem katon rada klincutan.<br />“Banjur apa sing dakgawa bali wingi, nganti saiki isih ana sak kathok sijine, iki mau aku kesusu budhale je?” Surasa nlesih klawan sathekruk rasa bingung.<br />“Kutangku, Kang,” wangsulane Sarnem lirih nanging ing kupinge Surasa kadya gelap mangsa kesanga. Raine Surasa abang branang, mergo keslomot rasa isin.<br />Bebarengan kuwi kaya tinarbuka geneya bojone esuk mau nesu jaja bang winga-winga. Enggal wae Surasa nyandhak becake lan sarosane nggenjot bali kanggo paweh katrangan klawan Menur. Playune becak terus digelak prasasat kaya lagi diuyak Pak Kartiko, priyayi sugih juragan becak kang kerep nagih setorane. Datan sranta nalika teka dalan cilik mlebu pekarangan omahe Surasa anjlog saka becake lan terus mblandhang mlebu ngomah.<br />“Nur, Menur….!,” Surasa bengok-bengok.<br />Nanging njeron ngomah sepi, ora ana wangsulan. Surasa mlebu kamar uga suwung, njujug pawon uga ora ana. Nanduki kahanan iku atine Surasa ketir-ketir, semparet Surasa mlayu menyang mburi. Ing mburi omah uga sepi. Meruhi bojone ora enggal ditemokake, atine Surasa selot katumpukan rasa cubriya. Ana pikiran-pikiran ala kang gumandhul ing angen-angene. Nanging bareng bali menyang ngarep ing kene Surasa digawe kaget klawan sesawangan ing tengah jogan.<br />Ing tengah jogan ana lading kang gumlethak, lading iku kang esuk mau kagunakake Menur kanggo ngancam awake. Sasisihe lading katon rajoh-rajeh ana barang kang nyubriyani. Surasa nyedhaki, bubar katamatake ora liya kotang. Iya mbokmanawa iki kang dadi panase Menur. Iya barang sepele iki sing dadi underan anane bratayuda ing omahe. Surasa dadi angluh, awake kaya dilolosi. Panyawange rumambat ing nglatar, katon barang-barang kang pating blasah, pating blesar, dadi sara-ara. Geneya barang sepele iku bisa dadi gawe? Batine Surasa pitakon klawan ati thenger-thenger.YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-15444315142167701492010-05-31T01:27:00.000-07:002010-05-31T01:33:06.523-07:00KAWRUH : NGAMBAH MANISING SIH TRESNARasa sing wis banget ketriwal ing pangrasane bebrayan saiki – luwih-luwih baraya agung ing perkotaan yaiku manising rasa sih tresna. Rasa sih tresna, kang satuhune mujudake mutyara jroning urip, yekti minangka bab kang tan bisa kaselaki kuwawa dadi werna, greget, memanis, sarta ukuran ing ciri pribadining manungsa. <br />Pangersula ing sakaliring kahanan embuh iku akehe tumindak nasar, wengis, julig, goroh lan sapanunggalane, iku kasebab awit ringkih sarta tipising rasa sih tresna. Istingarah wigati wiwit iki perlu ananing pambudi kanggo nirih ati amrih ngambah marang manising sih tresna. Saengga urip karengga manis lan sih tresna dadi werna ing pasrawungan.<br />Saweneh laku kang kaprah kanggo ngambah ing manising sih tresna manut kapitayan Jawa kasembuh awit bab kang runtut, ajeg lan lumadi. Tindak iki bisa kinaran laku sing kulina utawa pakulinan. Witing tresna jalaran saka kulina, unen-unen iki ora mung wis ngoyot nanging uga temanja buktine. Awit saka kulina bisa dadi tresna, seneng lan karem<br />Pakulinan kasebut ing ngarep minangka wujud tumindak kang ukurane mesthi yaiku runtut, ajeg lan lumadi. Laku mring apa wae asring thukul saka rerangkene tumindak iku, kang dening wong Jawa sinebut pakulinan, temahan nukulake tresna. Kabecikan iku tuwuh saka pakulinan, kosokbaline bab ala uga mekar saka anane pakulinan. Sugih lan mlarat, bisa lan ora bisa, kabeh winangun saka ajine pakulinan.<br />Rasa sih tresna kang tipis lan kasisih ing perangan atine bebrayan saiki, awit uga saka pakulinan kang datan maelu rasa kasebut. Embuh kadayan dening laku jaman utawa owah-owahan liyane saengga rasa sih tresna datan kakemonah kanthi becik. <br />Saben-saben pribadi amung migatekake awake dhewe. Sithik kanggo maelu ing liyan. Kepara sing tambah-matambah ing sadina-dina yaiku rasa anggunggung dhiri, golek menange dhewe, murka lan daksia. Sing kacethik ing pikir prasasat piye bisa angemperana jagad. Kabeh darbekku, manut aku lan panguwasaku. Eman.<br />Sikep kang kaya mangkono iku umrik ing ati sithik mbaka sithik, ing wekasane dadi gedhe lan sabanjure nguwasani kabeh wewengkoning pikir. Yen mangkono iku temah ati datan kuwawa bedakake maneh endi kang nurut garis kautaman apadene kang nyebal saka paugeran bebener. Mula bab kang perlu kaperdi mring kupiya ngambah wewengkon manising tresna, yaiku ngajak ati supaya kulina ngajeni kagunaning liyan. Urip minangka titah ing jagad raya iki padha ing sasamining urip, sakabehe butuh kaajenan, kaasihi lan kaanggep ngerti.<br />Minangka pepakeming laku kasebut kita bisa nyianu klawan tembang Gambuh ing serat Wedharaga anggitane R. Ng. Ranggawarsita ; lamun wus sarwa putus, kapinteran sinempen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak tanduk, amawas pambeking wong.<br />Ing pitutur kasebut kaajab ing saben pribadi nadyan pinter aja keladuk nuduhake pinter, kepara api-api bodho. Sikep kang mangkene iki luwih jenak disenengi liyan brayan, tegese bakal dadi tuk sumbering sih tresna, katimbang yen kosok-baline. Ngerti nanging api-api bodho iku luwih gampang ing trep-trepaning tumindak, katimbang bodho api-api pinter, utawa pinter nanging keminter. Awit manut R. Ng. Ranggawarsita jroning pasrawungan mono ing saben-saben pribadi kepengin kaajeni, mula sabisa kita paham klawan drajating saben-saben pribadi, amawas pambeking wong.<br /> Manut Les Giblin pakar hubungan masarakat lan penulis buku kondhang The Art Of Dealing With People uga nate nandhesake lamun kanggo mbangun swasana sih tresna ing pasrawungan bebrayan iku tinemu ana papat, yaiku nglengganani yen (1) manungsa iku kabeh egois, (2) luwih kesengsem klawan pribadine dhewe katimbang wong liya, (3) saben wong kepengin kanggep penting, lan (4) saben wong kepengin wong liya tansah sarujuk klawan panemune. Panglengganan ing papat bab kasebut kaajab bisaa nglairake sikep yen ing siji lan sijine prayoga tansah ajen ing ngajenan. Tinemu pangerten yen saben-saben wong darbe pambek, lan iku perlu kakurmati, dudu karemehake. Tan ngendhak gunaning janmi.<br />Saiba ngujiwat ing pasrawungan lamun saben-saben pribadi ngrembaka subur panglenggana yen ing liyan iku uga wigati anane. Saengga bakal terwaca maneh pamikir Jawa duking uni sing nandhesake aja njiwit yen ora gelem dijiwit, aja gawe pituna yen ora gelem digawe tuna, aja ngereh yen ora gelem direh, lsp. Sasela-selaning pasrawungan tumuli karacik pangudi mad-sinamadan, ora ana ganggu ginanggu, awit kabeh winungkus manis sih tresna. <br />Saka manis tresna iku wong liya kadidene awake dhewe. Lamun badan iki perlu kaajeni mangkono uga wong liya, yen badan iki sengsem kaasihi mangkono uga wong liya, lan yen badan iki bombong kaanggep penting mangkono uga wong liya, lsp. Sumilake pamawas iki mesthi wae anjurung laku pasrawungan bakal adoh saka laku dursila. Swasana urip katon endah lan nengsemake. Prayoga kaantu, kapan kita bisa mbalekake keblasuking pribadi iki temah kuwawa bali maneh ngambah mring wewengkon tresna. Temah urip bali ngukir samodra kaendahan. Sumangga. (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-10635214967740042832010-05-31T01:25:00.000-07:002010-05-31T01:26:50.187-07:00Cerkak : KABUNCANG ALANG-ALANGIng kamar remeng nalika wengi dungkap gagat bangun, Rianto isih sineret ing alam impene. Priya umur patangpuluhan iki tetep kanton gantheng, nadyan wis anak-anak loro. Pidegsa. Daksawang landhep pasuryane kang katempuh lampu kamar, kebak wibawa. Saiba bombong wanita lamun winengku dheweke. Berngos tipis, lambe katon resik lan alise kandel. Mangkono isih katambah karier ing perusahaan, wanita endi sing ora kepencut. Kalebu aku, nadyan dheweke wis ora ijen maneh.<br /> Wiwit sore mau aku lan dheweke ketemu ana kamar iki. Embuh kanthi alesan apa dheweke ninggalake kulawarga, ninggalake Winanti bojone, lan anake loro. Mesthi wae kaya padat saben, meeting, ketemu kanca bisnis, utawa tugas njaban kutha. Sawijine alesan lawas kang wola-wali kaucapake. Emane, Winanti kok ya ora cubriya. Dheweke katon manut wae klawan Rianto. Ketang anggone bekti, ngalah utawa mangsabodho? Mesthi wae sikepe Winanti iku tegese nguntungake aku. Aku bebas, bisa nempil apa kang kadarbeni priya kang saiki tundhuk ing panguwasaku iku. <br /> Nyawang brengos tipis kang ngrenggani lambene kang resik iku aku dadi kelingan patang sasi kepungkur, nalika aku tepung klawan dheweke ing saweneh patemon perusahaan. Sepisan nyawang Rianto aku kesengsem klawan penampilane, kang katon resik, perlente lan nuduhake sawijine pribadi kang pinter. Aku mikir ing wektu semana dheweke isih ijen. Mula nganti sawetara lan ambal-ambalan aku migatekake dheweke. Aku kentir ing rasa kepranan kang datan pepindhan.<br /> Jebul ora nyana dheweke ngerti lamun wis narik kawigatenku. Saka patepungan nuli ngadani acara mangan awan bareng, wusana aku dadi selot akrab. Kepara ngliwati wates akrab. Rasa kang raket mau tumuli dadi rakitan tresna peteng, saengga saiki. Sepisanan aku ngerti yen dheweke wis kulawarga aku pancen gela, gela banget. Malah nganti sawetara dina aku tansah nolak nalika kaajak metu bareng. Terus terang wae aku emoh yen kudu ngrusak pager ayu, mundhes turus ijo. Ngrebut kang wis sah dadi darbeking liyan.<br /> Nanging kekuwatan kang mangkono iku banget ringkih tumrap aku sing ing mulane pancen wis kapirangu klawan Rianto. Sarosane ati iki dakcandhet aja nganti tresna iku ngrembaka. Nanging selot rosa dakampah rasa kapang iku tambah kuwat, tambah kuwat nancang atiku. Ora ngertia rasa kang mangkono iku kadarbeni uga dening Rianto. Menyang endi wae aku endha, kaya-kaya dheweke darbe pangganda temah aku datan darbe kekuwatan angoncati.<br /> “Apa kowe ora rumangsa salah, culika klawan Winanti, Tok?” pitakonku nalika aku lan dheweke mangan bareng ing kawasan Malioboro.<br /> “Tresna iku dudu ukum, Rit,” mangkono wangsulane cekak. “Dadi dudu papane salah utawa bener. Tresna iku mardika tuwuh ing saben ati. Dudu tuwa utawa mudha, sugih utawa mlarat, pangkat apa sudra, kalebu sing wis kulawarga apadene isih ijen,” pratelane melankolis rosa ngruntuhake ati.<br /> “Bener, tresna iku dudu papane luput lan bener, nanging yen wong iku wis kulawarga harak nerak marang pranatan ta? Ateges iku nyalahi bebener?”<br /> “Tresna iku ibarate wong mendem Rita, endi ana wong mendem isih metungake bener lan luput,” Rianto isih selak, klawan njenggit irungku.<br /> Mangkono kaelokane lakon tresnaku klawan Rianto. Pancen aku klawan dheweke kadidene wis ngombe banyu lapen pirang-pirang sloki. Aku lan dheweke wis mendem jero. Jejering kenya kang duwe praupan kang ora nguciwakake, dudu ateges aku durung nate kasmaran utawa sambung tresna klawan priya. Malah nalika gathuk klawan Rianto, udakara lagi sewulan aku putus cinta klawan kanca kantor. Embuh, nalika kepethuk priya iki atiku gampang kegiwang nadyan lagi sewulan pinggeting ati durung ilang sawutuhe. Rianto pancen priya ajaib.<br /> Yen katlesih landhung dhadha iki katlikung rasa bingung. Banjur kaya ngapa rupane tresna, apa pindha Merapi klawan Merbabu, sing wong datan ngerti kapan gathuke lan kapan pisahe. Apa kaya ilining Kali Code sing terus gumlindhing datan ana pedhote, apa kaya ngilak-ilake Parangtritis, endah ngelam-elami, nanging datan kanyana bisa wae kejem saengga nyeret sapa wae? O,…jagad-jagad.<br /> Angka jam nuduhake lima punjul seprapat, dakcoba aku nggugah Rianto sing tetep isih nggleses. Mesthi wae mau bengi kekeselen lan nganti lingsir lagi turu. Bengi mau pancen kadidene bengi-bengi sadurunge aku sakloron kaya kabuncang ing alang-alang, nlasak laladan endah lan ngambara ing akasa tanpa wates. Methiki mawar-mawar kang abyor ngrenggani watesing gisik. Aku lelangen ing samodraning manis, kang ngelami-elami. <br /> “Rita…, “ katon gragapan Rianto menyat saka peturon. “Jam pira?” pitakone.<br /> “Wis padhang, kowe pengin bali dhisik apa langsung nyang kantor?”<br /> “Aku pengin bali,” wangsulane klawan jumangkah nuju kamar mandi.<br />Sawuse reresik nuli aku menyat saka papan kono. Bandhang kanthi mobil lan ing sawijine papan aku mundhun. Dene Rianto nggeblas kaya ilang kasaput esuk kang isih kinepung pedhut. <br />***<br /> Kaya padatan ing saben mulih saka kantor aku golek oleh-oleh kanggo ibu kang ana ngomah. Darbe wongtuwa kang kari ijen ana ngomah, mesthi wae aku kepengin gawe seneng atine. Saben budhal kantor aku tansah matur mungguh apa sing dikarepake. Dene esuk mau ibu kandha yen kepengin dhahar jeruk mandarin, sajane kepengin dingendikakake nalika sore. Jalaran aku kandha lembur, mula ing esuk mau nedhenge aku pamitan pepengine lagi dingendikakake marang aku.<br /> Mancik ing mall, wanci wis punjul saka setengah lima sore. Age-age aku jumangkah lan kang daktuju datan liya papan digelare woh-wohan. Ing tengah-tengahe aku kepengin nyandhak lan milih jeruk mandarin saklebatan ana wanita kang cukup daktepungi pasuryane. Wanita kuwi nggendhong lan nggandheng bocah lumaku ora adoh saka anggonku ngadeg. Bareng dakwaspadakake jebul tenan, dheweke Winanti bojone Rianto. Geneya sore ngene dheweke ana kene, banjur karo sapa lan perlune apa?<br /> Satemene ora let suwe nalika aku kecanthol klawan Rianto, aku wis ngerti marang pasuryane Winanti. Nanging amung ing hp-ne Rianto, kalebu uga klawan anak-anake. Embuh kadayan saka apa ana rasa cubriya kang nggodha atiku, dene sabanjure rasa mau nyurung karepku kanggo ngetutake dheweke. Aku kepengin ngerti apa sing katindakake ing mall iki. Mula rewa-rewa aku uga nyadhak klawan apa sing dicedhaki wanita iku, aku masang kuping kanggo nggatekake.<br /> “Ibu iki lho susune adhik,” mangkono anake lanang kang digandeng kandha.<br /> “O, iya. Niki susune adhik. Makasih ya Kak Rio,” mangkono sambunge Winanti marang anake kebak rasa sih. Atiku katleseban trenyuh nyawang kahanan iku. <br /> “Ibu mbok Kak Rio ditumbasaken mobil baru, ta,” maneh anake sing jenenge Rio katon ngrenging njaluk dolanan.<br /> “Lho-lho, boten saiki ta, sesuk yen Bapak wis kondur,” Winanti nyarehake.<br /> “Bapak kok suwi boten kondur ta, Bu?”<br /> “Bapak harak tugas adoh, keluar kota,” pananggape Winanti sareh.<br /> Aku datan kuwawa ngampet esem nalika krungu tembunge Winanti. Edan, mesthi iku kang dikandhakake Rianto kanggo lungan karo aku. Kanggo sawetara aku rada ngadoh murih ora nuwuhake rasa cubriya tumrap Winanti. Luwih seprapat jam aku nginthil marang Winanti sarta anak-anake. Wektu saiki dheweke tumuju papan, kang ing kono tinata werna-werna woh-wohan. Kepeneran sisan golek jeruk mandarin kanggo ibu aku tetep bisa nginthil Winanti.<br /> “Bu ajeng mundhut apel ta, kagem Bapak?” mangkono anake sing jenenge Rio kang umure udakara telung taunan luwih iku katon lucu lan nggemesake.<br /> “Betul, Bapak harak mangke sore kondur,” Winanti nanggapi sinambi milih apel abang ing keranjang.<br /> “Hore…, adhik, adhik mengko sore Bapak kondur, lho. Cihui…, Kak Rio bisa beli mobil baru lagi,” bocah mau banget gembira, lunjak-lunjak kesenengen nampa kabar yen bapake bakal bali. <br /> Ndeleng kahanan iki atiku trataban, saiba kulawargane Rianto banget ngluhurake dheweke. Bojone apadene anake pisan. Katon ing solah-lakune, sorot mripate lan tembung-tembunge banget nresnani Rianto sawutuhe. Tresna tulus, kurmat lan ngreka priya mau minangka perangan kabagyan kang tansah diarep-arep tekane. Kamangka sisip saka pandulune, yen Rianto iku datan kuwawa nimbangi apa kang sarwa tulus mau. Kosokbaline malah sarwa blenjani. Atiku selot kumedhap ngrasakake iku. Dumadakan ana rasa perih kang nggaris dhadha. Landhep tumus tumekeng telenging rasa.<br />Ing sabanjure aku dadi miris kanggo terus ndeleng kahanan ing ngarepku, Winanti klawan anak-anake. Kaya ana panah sewu mawali-wali tumanduk ing dhadha. Age-age aku njupuk jeruk mandarin saperlune lan kepengin terus nggeblas. Nanging lagi wae aku bakal jumangkah tumuju kasir, dumadakan tanganku ana sing njawil. Aku njola. Trataban. Sakeplasan aku noleh kanggo ngerteni sapa kang nyandhet lakuku. Bubar aku noleh, aduh… jebul anake Winanti. Sawetara aku datan bisa kumecap. Ana apa bocah iki? Atiku kumesar. <br /> “Tante, jeruke dhawah,” kandhane polos kanthi panyawang bening resik.<br /> “Maturnuwun, cah bagus,” sakuwate aku nyoba sareh, nuli kanthi rasa trenyuh lan ati isih trataban aku nampa jeruk kang diulungake. Satleraman aku nyawang Winanti kang nggejejer ing kadohan, dheweke katon mesem. Aku nyoba nanggapi, nanging esem kang banget suci mau kadidene warastra sing kumeplas nunjem dhadha. Rikat aku jumangkah lan sacepete enggal nglungani mall iki.<br /> Wengi sansaya tumlawung ing palung samun. Nanging mripat iki angel kanggo dieremake. Gawang-gawang ngalela kadadeyan ing mall sore mau. Saiba aku dadi perangan sing banget kejem tumrap Winanti lan anak-anake. Rianto sawijine pribadi kang nyata dadi perangan kabagyane kanthi sesingidan dakrampas, dakpundhes lan dakculikani. Aku mbayangake, saupama aku sing dadi Winanti, saiba perih kahanan jroning ati iki. Saiba lara ati iki. Saweneh katulusan amung didoli kanthi culika….. Kejem, kejem tenan !<br /> “Sepurane Tok, aku wis tan kuwasa nerusake crita peteng tresna kita. Tulung, iki tembung tulus sing ora kena dianyang maneh,” ukara iki kang sarosane daktulis kanggo sms Rianto. Wusana hp dakpateni. Wengi terus mbandhang ing sepi. Ana saglugut rasa lega kang ngrenggani dhadha, prasasat uwal saka boboting rasa salah. Nanging mripat iki tetep kembeng-kembeng, katon wewayangane Rianto lamat-lamat kang sabanjure ilang saka panduluku.YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-8165807069890773352010-04-16T15:36:00.000-07:002010-04-16T15:38:05.142-07:00cerkak : TUMURUHE BUN ESUKYa ing kene, ing warung sing isih prasaja iki. Warung kang tinemu ing ngarep sekolahan kang limang taun kepungkur nate dadi kenangan jroning lembar uripku. Wektu limang taun dadi wanci kang tan mingsra, jalaran ora akeh ngowahi apa wae ing warung iku. Ewasemana wektu semono kuwi tetela kuwawa nilasake mawarna-warna lakon kang ngrenggani uripku. Wektu kang wus nyiptakake owah-owahan sing akeh, matumpuk-tumpuk. Neka-neka lan sing banget nyekethem rasa.<br /> “Kowe tetep bakal ninggal kutha iki kanggo nguyak gelar dhokter iku, Rul?” pitakone Endita marang aku sabubare acara perpisahan sekolahan limang taun kepungkur.<br /> “Kuwi pancen wis dakrancang suwe, End,” aku manthuk manteb.<br /> “Tetep Jakarta?” mripat endah kuwi kabuncang adoh.<br /> “Njur ngendi maneh? Ngiras pantes aku nedya ngerteni satemene apa sing narik ing kutha iku, katimbang Solo sing ngene-ngene terus.”<br /> Wangsulan iku kang kuwawa nggarit pasuryane Endita kaya kasiram labor abang. Aku ngerti mrentul rasa sujana kang sagunung gedhene. Aku ngerti niyatku iki prasasat kasedhihan tumrap dheweke. Lan aku ngerti amarga dheweke ora mungkin ninggal kutha budaya iki temah ora ngrilani awakku nerusake kuliah ana Jakarta.<br /> Limang taun kepungkur, ing warung sega rames iku aku bisa paweh alesan temah Endita ikhlas nampa aku tumuju Jakarta. Aku nguyak cita-cita kang suwe katandur ing angenku dening wongtuwaku. Wektu limang taun kasil dadekake aku dadi dhokter. Nganti saiki, nganti aku wis nyandhang titel dhokter, wis kaping papat aku nyelakake teka ing papan iki. Amung saperlu kanggo sauwen-uwen nyawang warung mau. Warung sing nilasake lelakon kawuri. Tetela ora akeh sing owah, kalebu cacahe pelanggan kang ajeg wae jajan ana kono.<br /> “Geneya?” batinku takon lirih.<br /> Sing kaping papat iki aku emoh menyat saka papan iki tanpa nyaking wangsulan, geneya warung iki prasasat ora akeh owah-owahane. Mbok Rumi klawan Pak Tirta, tetep dadi pilihane murid-murid SMA kene. Kekarone uga tetep nuduhake lageyan sing nyenengake. Kalebu kang baku racikan sega ramese kang tetep nuduhake rasa kang khas. “Maknyus,” mangkono gotheke para pelanggane saiki nalika bubar nikmati sega ramese.<br /> Malah sing nabetake kaelokan maneh, saben-saben aku mlebu warung iki tanggapan kang daktampa prasasat ora owah kaya sing kelakon sasuwene aku ing SMA ndhisik. Kuwi kang selot dadekake aku kudu sinau marang apa kang wis katindakake Mbok Rumi. Aku ngrasakake MBok Rumi klawan warung sega remes iku, pindhane tugu kang asring dadi tenger saben-saben lakune sejarah. Prasasat terminal Tirtonadi, tetep kuwawa dadi karaktere Solo nadyan wis maewu-ewu kendharaan mampir ing pangkone.<br /> Jroning ati iki nuli kaslempitan rasa iri, geneya aku gagal. Lakonku ora bisa lumaku kadidene warung sega ramese Mbok Rumi. Kasujananan, rasa tresna lan padha sih-sinian kadidene limang taun kepungkur katon luntur. Citarasa lan apa wae kang winangun ndhisik kepara gapuk lan ilang gapite. Endita, ing wektu iki wis dudu memanising uripku kaya limang taun kepungkur. Malah dheweke wis ilang saka reroncening uripku. Musna. Amung minggetake sisa-sisa lelakon sing kala-kala malah nyipta tatu ing ati.<br /> “Sepuranen, Rul. Aku kudu wani blaka, merga awakmu sing egois. Aku angel kanggo nerusake lelakon tresna kita,” siji setengah taun kepungkur gawang-gawang lumantar hp kandhane Endita banget nuwek dhadha. Lan sabanjure apa kang daksumelangake iku tetela dadi kasunyatan. Dudu perkara gampang ngreksa sawijine kasetyan temah dadi mutyara kang endah sajroning crita tresna. Luwih-luwih mring jaman saiki, kalebu aku, apadene Endita.<br /> “Aku egois, En? Tuduhna mapan ana ngendi sipat iku?” jroning saweneh kalodhangan aku nate pitakon mrang Endita.<br /> “Jakarta wis ngenggokake kawigatenmu marang aku, Rul.”<br /> “Ah, angel. Pancen ora gampang aku sawutuhe ngesok kawigaten marang awakmu, End. Tugas kuliah lan kasibukan kampus, uga njaluk kawigatenku,” swaraku memelas.<br /> “Nanging kowe uga bisa nindakake nalika ana SMA, Rul.”<br /> “End, tulung pangertenmu. Ini perguruan tinggi, bukan SMA maneh,” swaraku sansaya memelas wektu kuwi. Ewadene, Endita tetep puguh. Embuh daya apa sing nyurung panemune lan dheweke nekat medhot rajutaning tresna. Gelar dhokter pancen kasil dakgegem, nanging Endita mrucut saka atiku. Sabanjure apa bener aku egois? Apa kosokbaline malah Endita sing egois. Iki perlune aku kudu meguru klawan Mbok Rumi. Ibarat tresna, warung iku ati, dene apa sing katindake marang para pelanggan temah krasan jajan ing warung iku pindhane laku ngupakara tresna. Mbok Rumi nuduhake kabisan iku.<br />Aku pancen kudu meguru klawan Mbok Rumi, geneya kuwawa melet klawan sakalir pelanggan temah setya jajan ana kono. Nadyanta ora diselaki tuwuh werna-werna warung ing kutha iki. Ora mung sing anyar, nanging uga luwih apik papane, malah-malah bisa wae luwih mirasa masakane. Ewasemana amarga katiyasane Mbok Rumi, para pelanggane tetep nyanthol ing warunge. Ora mung saiki, limang taun kepungkur, utawa ing mangsa kang luwih suwe maneh. Aku enggal kudu ngerteni apa resepe. Gilirane aku uga bakal ngerteni, endi sing kleru ing lakon tresnaku. Aku sing egois, apa satemene Endita sing malah egois.<br />“Lho nak Irul maneh?” tumanggape Mbok Rumi nalika ngerteni aku wis lungguh ing warunge. Semanak, semadulur lan kebak esem. Nadyan esem iku wiwit kacipta saka kulit-kulit kang selot kisut. “Eh, sepurane Pak Dhokter. Kok nak, lho,” tembunge klawan guyon.<br />“Mbok Rumi ora susah nganeh-anehi,” aku nyoba nyuwak swasana kaku.<br />“Dhahar Nak Irul?”<br />“Boten, es teh mawon,” kaya-kaya selera manganku durung teka. <br />Ora let suwe es teh wis cumepak ana ngarepku. Kanggo neles gulu enggal daksruput, lan rasa anyep rumambat ing gurung. Kaya sing kelakon, saliyane aku gandrung klawan sega rames, aku uga seneng klawan panganan kuno sing tansah cumepak ing warunge Mbok Rumi, yaiku mentho. Panganan cemilan iki kagawe saka tepung gaplek lan diwenehi kacang brol. Rasane gurih, kemripik, klawan bumbu kencur sing katon menjila, nambah sedhepe panganan cemilan sing ana wiwit kuno iki.<br />Kapinujon nalika swasana warung rada sepi. Niyatku wis gembleng nedya pitakon apa sing sasuwene iki nggubel ing dhadha nedya daklairake. Geneya warung iki kuwawa melet klawan para pelanggane? Temah pelanggan mau tetep setya, nadyan ing papan liya ana warung anyar kang bisa wae luwih penak lan enak. Wangsulane Mbok Rumi iku bakal dakanggo sangu ngungak klawan crita tresnaku. Papan endi sing salah, laku piye sing kleru, tundhone aku bakal ora kesandhung lelakon padha ing liya wektu.<br />“Gampang, Nak,” wangsulane Mbok Rumi cekak nalika nanggapi pitakonku. Wangsulan sing dadekake aku bingung. Katon penak wae wanita tuwa iku paweh wangsulan.<br />“Gampang? Gampang pripun, MBok?” aku nlesih.<br />“Akeh-akehe wong iku seneng ngomong ning ora seneng ngrungokake. Lha aku mbudidaya ing perangan sing seneng ngrungokake iku, Nak. Apa sing dikarepake pelanggan, apa sing disenengi pelanggan, kalebu apa wae sing ora disenengi pelanggan, iku kabeh sing dakrungokake,” pratelane Mbok Rumi terwaca.<br />“Lha yen wis seneng ngrungokake nuli gelem ngowahi jumbuh klawan apa kang dikarepake pelanggan. Jalaran kandhane wong pinter yen wong tuku iku harak ratu. Mula becik aku ora nggugu karepku dhewe, kudu manut klawan sing tuku,” makglong rasane atiku. Kaya ana trontong-trontong sunar rembulan madhangi ati. “Gelem ngrungokake,” batinku baleni. <br />“Satemene kewasisane wong mono dudu kadeleng saka anggone pinter ngomong, nanging karilane anggone sumadhiya ngrungu. Lan iki sithik kang bisa nindakake,” tambahe Mbok Rumi sing karasa ora jamak dikandhakake jejere bakul ning jejere filosof. Kanthi iki matambah-tambah rasa gumunku klawan bakul rames iki. Dadi bener apa sing karungu saka pinisepuh biyen, bathok balu isi madu. Mbokmanawa iku gegambarane Mbok Rumi. “Wong kang rila ngrungu katimbang kakehan ngomong iku lumrahe bisa ngemong, mula racake dadi pribadi kang nyenengake,” tambahe Mbok Rumi.<br />Gelem ngrungu lan bisa ngemong, loro tumindak sing dadi resepe Mbok Rumi geneya warung iku tetep eksis jroning persaingan para bakul pangan. “Yen ngono apa ana ing lakon tresnaku, loro tumindak iku? Gelem ngrungu lan bisa ngemong?” batinku nlesih nalika sorot srengenge sore iki nrabas jendhela kamarku. Angel kanggo mbiji, apa aku sawijine pribadi sing gelem ngrungu lan bisa ngemong. Gawang-gawang ing limang taun kepungkur nalika Endita ngalangi aku supaya ora nekat ing Jakarata, ewasemana aku ora ngrewes tembung iku. Semono uga nalika Endita njaluk kawigaten, ana-ana wae alesan sing dakgawe, lan …<br />“Coba, Nak Irul ngalah sithik. Mbokmanawa iku bisa dadi dalan nak Endita bisa nampa tumindak-tumindak kang wus Nak Irul tindakake,” pratelane Mbok Rumi awan mau, nalika aku blaka yen Endita selot ngadoh sak dina-dinaku. Apa bener mangkono? Nyoba dakgoleki nomere Endita sing tetep kasimpen ing hp-ku. Tumuli ukara-ukara sing salawase iki angel dakrakit nyoba dakrakit. Agahan tembung-tembung mau dakkirim. Aku ngarepake muga-muga bisa ngowahi pandugane Endita, sing sasuwene netepake aku minangka priya egois. Nanging nganti kliwat jam sewelas bengi sms sing dakkirim tetep durung ana jawaban. Tuwuh niyat kanggo ngebel Endita, nanging dakwurungake. Mbokmanawa pancen pinggeting ati sing kasandhang Endita wis angel katambani, lan wis ora ana wewengkon ing atine kanggo aku.<br />Gagat bangun aku digawe kaget klawan swara dering hp. Rikat daksaut.<br />“Endita? Iya iki aku?” atiku trataban nampa telpune Endita.<br />“Sepuranen aku Rul, salawase iki aku sing satemene egois, dudu kowe,” pratelane Endita alon ing sabrang. Krungu pratelan iku atiku njola. Geneya malah Endita sing ngaku egois. Sapandurat aku ora bisa paweh wangsulan. Sing rinasa ing ati ana maewu-ewu kembang mlathi mrajak ngebeki angen-angenku. <br />“Nanging aku tetep tresna marang awakmu, End,” embuh geneya tembung kuwi sing wekasane kepara ucul saka lambeku.<br />“Ah Irul, …”wangsulane Endita sajak ngampet rasa.<br />Tuwuh esem ing lambeku. <br />Sineksen tumuruhe bun esuk atiku kumlesik, “Matur nuwun Mbok Rumi.” (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-61746026929695289942010-02-28T07:29:00.000-08:002010-02-28T07:34:00.351-08:00GURITAN : MBURU KATRESNANNGENTHA TRESNA<br /><br /><br />daktemu sendhang bening ing resik pasuryanmu <br />papan aku nglarung wijiling tresna<br />nggambar arah pepandoming kapang, sarta<br />nyandhi pepethan edi manising esemu<br /><br />ing kene, sadawaning esuk lan sore<br />dakronce tembung, kareben awakmu nglenggana<br />aku pindha jaka tarub ing tepining panguripanmu<br />nunggu nganti kapan ngujiwatmu mboktinggal lelumban<br /><br />sabubare rembulan wutuh nusuh ing palung wengi<br />apuranen aku sing kapeksa ngentha kasulistyanmu<br />nggambar tipis lambemu ing saben erem mripatku<br />awit aku kepengin tansah kelingan sliramu <br />ing eling apa ora eling<br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008<br /> <br />WIRAMA TRESNA<br /><br />mbokmanawa sliramu gelem ngerti, nimas<br />ana landhep kapang kang bareng turuhing cahya rembulan<br />nedya lelangen marang wening sendhang ing dhadhamu <br />ngedum rerumpakan kaendahaning wirama tresna<br />kekanthen njlajah wewengkon birahi nganti gisiking wengi<br /><br />nimas, nyata aku wus kegiwang mring lanciping kasamaran<br />wuru mring lintang kang manjing ing saripatining netramu<br />coba rungokna kumlesiking dhadha iki wis kekebakan manis<br />kaselak necep wewironing kanikmatan kang selot ngeglo<br />tinata cekli sauruting atimu sing winungkus meloking kluwung<br /><br />nimas,<br />nanging kenapa sliramu tansah sesingidan ing walik sepi<br />nlusup ing barisaning alang-alang kang selot kentekan mangsa<br />ninggalake aku kijenan ing pinggiring impen-impen wengi<br />sing amung rinengga tetes bun kang nelesi ros-rosaning suket teki<br /><br />mara gage, tumuruna nimas<br />mumpung rembulan durung kadohan anggone oncat<br />mumpung lintang isih sanggem nembangake roncen pemarem<br />lan tresna durung kebacut kepangan lamising jaman <br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008<br /> <br />NEGESAKE GEGADHANGAN<br /><br />wis ilang watese <br />atiku lan atimu manjing ing ulegan tresna<br />nalika dakrangkul weweging awakmu ing peturon iki<br />nalika langit mendem cahya kluwung ing sore iku<br />setitekna, kita bakal tetep gegandhengan <br />nuju papan sing dadi gegadhangan<br /><br />apa wus mbokgawe wangi lemah papan kita<br />nandur ewon kekarepan sing mblasah ing jogan omah<br />apa wus mbokgawe asri sacuwil pekarangan papan kita<br />ngracik wijine sih tresna<br /><br />ing kene, ing sap-sapan napas jiwa<br />ya kawitane gegadhangan mapag urip sejati<br />ing antarane mulya apa cilaka<br />ing antarane sedhela apa langgeng<br />ing antarane urip apa pati<br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-82248512783500065202010-02-15T23:47:00.000-08:002010-02-15T23:50:27.429-08:00Cerkak Remaja : SI JAKET PINKdening : A. Areif Rachman<br /> <br /><br /> “Ana warung sup buah ngarep sekolah, aku jaket pink. Taktunggu,”<br /> Mangkono unine sms kang mentas wae diwaca Nirmala saka nomer anyar sing wis seminggu iki sms-e brondong ponsele. Jan-jane nilasake rasa anyel, mangkel, bete, mring cewek kelas loro SMA iku. Ewasemana jalaran ora mutungan, awit seminggu nggodha seminggu uga ora digape. Tan wurung nilasake rasa trenyuh. Ana satenggok tandha pitakon ing dhadhane Nirmala. Gek sapa bocah iki? <br />Rasa kepengin ngerti sapa satemene wong iku tan wurung nggodha cewek kanthi irung bangir iku, kanggo nanduki undang-undang liwat sms kasebut. Mula tuwuh krentege nedya jumangkah menyang warung sup buah sing uga langganane iku. Kepengin ngerti sapa satenane.<br /> Durung ana limang jangkah, Nirmala nyandhet lakune. Ning njur apa pantes? Bocah wadon gampang kegodha ngono wae? Ah kuno ! Ewasemana tetepa ora gampang Nirmala gawe keputusan kanggo enggal jumangkah nuju warung sup buah mau. Kamangka kumlebat ing angen-angene bisa lungguh ana kursi, nemokake pawongan sing jaket pink, kenalan lan sabanjure terwaca cetha ngerteni mring sapa temene. Sapa ngerti yen gantheng, lumayan ta kena kanggo ngganteni Rio sing wis setaun ninggalake Nirmala ganti gandhengan liya. <br /> Pancen, rasa-rasane Nirmala nyoba ngreka-ngreka sapa satemene wong iku. Paling ora ana bocah telu kang dinuga gawe rereka lan kuwawa nabetake rasa goreh ing atine Nirmala. Awit dheweke isih kelingan apa sing nate kelakon nalika durung suwe pisahan klawan Rio. Ponsele Nirmala uga kagodha dening nomer anyar. Nanging isine ukara-ukara nggodha lan nyemesi marang dheweke sing katinggal Rio. Bubar ditlesih lan kabongkar, ora nyana Desti. Kanca nunggal bangkune sing duwe hobi ngaco kuwi.<br /> Mula ora aneh, yen ing kene wong sing sepisanan kacubriyani Nirmala yaiku Desti. Mula nalika pisan pindho tampa sms mau langsung wae Nirmala protes klawan Desti.<br /> “Heh, tukang ngacau bikin olah maneh ya?” mangkono Nirmala nyemprot.<br /> “Sapa sing ngaco?”<br /> “Mungkir, ya. Iki tumindake sapa?” Nirmala ndhesek klawan nuduhake sms-sms sapirang-pirang sing wis ngubruk ditampa.<br /> “Yakin, Mala, iki dudu aku. Yakin tenin. Sumprit diambung Ariel Peterpan ta wis,” sumpah-sumpah Desti nelakake yen dudu kang tumindak.<br /> Nanggapi pratelane Desti sing nelakake kanthi mimik sing memelas, Nirmla wis ora bisa bangga. Mbokmanawa pancen bener, dudu Desti kang tumuindak. Mula kari ana wong loro kang dina iki dicubriyani. Sijine pancen cowok kang nunggal sekolah ing SMA iki nanging beda kelas. Cowok kuwi pancen embuh bener embuh luput, manut rasa rumangsane Nirmala asring migatekake dheweke. Sajake cowok mau kepengin kenal, nanging mbokmanawa saka angel golek cara kanggo pitepungan banjur migunakake cara iki. Lumantar serangan sms, lan wusanane ngajak patemon.<br /> Dene sijine maneh uga cowok, ning sing iki ora mung beda kelas, nanging uga beda sekolahan. Cowok iki pancen nabet ing ati, mula nadyan patemon iku wis kliwat wektu nyandak telung sasinan jenenge isih cetha cinathet ing pojok atine Nirmala. Lukman, bocah saka SMA Tarujaya iku mujudake pribadi kang supel lan gampang kekancan. Katambah rupane sing ora nguciwani, dedege dhuwur lan kang ora kalah penting sugih prestasi.<br /> Jalaran ketemune Nirmala klawan cowok iku ya nalika ing acara Lomba Maca Geguritan ing Pendhapa Kabupaten. Wektu kuwi Nirmala sing dipercaya makili sekolahane, semono uga Lukman dadi jago sekolah swasta favorite ing kutha iki. Lan wekasane kekarone kasil nyabet juwara siji, Nirmala juwara ing kelas wanita lan Lukman ing kelas priya. Kekarone selot akrab nalika ketemu maneh ana acara penyerahan hadiah lan piagam lomba kang uga kaleksanan ing Pendhapa Kabupaten sing katindakake dening Bupati. <br /> Pancen wektu kuwi Lukman menehi nomere sing asli, ning sapa ngerti dheweke migunakake nomer anyar kanggo nggodha Nirmala. Ora kaselaki, yen ana rasa sengsem nadyan saliring bawang kang nabet ing pojok atine Nirmala marang Lukman. Ewasemana rasa mau datan kalilani dening Nirmala kanggo ngrembaka. Awit rasa tatu lan lara saka kadadeyan setaun kepungkur durung kentas saka atine, ya nalika Rio kanthi kejem ninggalake dheweke. Embuh, nganti saiki angel Nirmala netepake pribadining cowok sing kaduga ngganteni Rio. Rio tetep dadi pribadi sing nengsemake, nadyan wekasane cowok mau ninggalake ngono wae kanggo ganti kembang liya. <br /> Embuh piye kabare priya iku nganti saiki Nirmala ya ora ngerti. Tur maneh dheweke ya ora kepengin ngerti. Sing dingerteni, sawise lulus saka SMA Rio nerusake kuliah ana kutha gudheg Ngayogyakarta. Ngendi penere kampuse, njupuk jurusan apa lan saiki nglajo apa ngekos, kabeh Nirmala wis ora ngerti. Mbokmanawa nganti saiki Nirmala terus mbudidaya sakuat-kuate dadekake Rio minangka crita lawas ing uripe. Crita sing ora perlu kababar maneh, crita sing pantese katutup lan kareben mandheg dadi kenang-kenangan. Nadyanta mungguhe Nirmala iku dudu perkara gampang. <br /> Mula nalika wis seminggu iki ana nomer nggodha Nirmala, karacik niyat yen cewek iki kepengin nanduki pesen sing mentas wae ditampa. Nirmala ngarepake yen wong iki Lukman. Mbokmanawa Lukman bisa dadi Rio anyar kang kuwawa nambal atine. Jalaran sithik akeh Lukman nyedhaki pribadi sing tinemu ing Rio, malah ing segi-segi tinamtu siswa kelas loro SMA Tarujaya iki kepara luwih unggul. Tuladhane akeh presatasi sing karaih dening Lukman, mligine ing babagan seni. Nanging njur piye yen wong iku dudu Lukman, dudu kanca nunggal sekolahane, dudu wong-wong sing nate katepungi dheweke? Wong iku wong anyar kadidene nomere sing anyar? Atine Nirmala kairis.<br /> Rasa mangu-mangu wiwit rumambat ing atine Nirmala. Sikil kang mulane nedya jumangkah nuju warung sup buah, bali kasandhet maneh. Pisan pindho dheweke baleni ngothak-athik tumrap sapa sejatine wong anyar katon iku. Sansaya suwe kapikir, sansaya akeh pelaku-pelaku anyar kang kacubriyani gawe gorehe atine. Kang mulane wong telu saiki malik dadi sapirang-pirang. Kalebu Nuti kanca sing kulina diajak rembugan perkara kegiatan sekolah, Tosan, cowok sing kulina paweh lagu-lagu anyar. Pradipta sing kulina ngajari gawe puisi. Tyasa sing critane saiki ngganteni dheweke ing atine Rio. Lan akeh maneh, sapirang-pirang…. Pelaku-pelaku kang nggodha angen-angene Nirmala.<br /> Suwening suwe Nirmala dadi waleh. Kepengine kawigatene ora kajarah marang sapa satemene wong iku. “Ah, cuwek lah!” mangkono batine sabanjure. Kenapa kedadak pusing mikirake wong iseng. Mbokmanawa bab sing kaya ngene iki ora perlu digape. Ponsel pancen alat modheren kang canggih kanggo mbiyantu sesambungan, lan saiki wis mratah ing sapa wae, kalebu anak-anak sekolah. Piranti kang merdika lan datan winates. Mula sapa wae bisa nggodha mring nomere. Kayadene rupa-rupa kuis lan layanan ing layar kaca kae. Mula kanggo apa nanduki. Iku kang kalebu efek negative ponsel.<br /> “Tulung, aku nunggu banget. Wis dakpesen siji, kanggo awakmu. Aku jaket pink.”<br /> Dumadakan siji maneh sms teka, nuduhake ukara memelas. <br /> Kapeksa Nirmala nyandhet jangkahe nalika wis bakal jumangkah ngedohi warung sup buah. Rasa anyel sing maune tumpuk-undhung ing dhadhane bali cuwer maneh. Embuh, sajake ora tega yen njur tumindak kejem marang wong iki. Banjur apa rugine yen nuli kanthi santun nanduki. Bisa wae nomer anyar iki tekane saka wong-wong kang seneng iseng, wong-wong sing karem nggodha wong liya. Nanging yen teka saka wong serius? Luwih-luwih manawa saka wong kang banget butuh pitulungan, apa iki dudu jeneng dosa? Dudu aran pecundang?<br /> Yen niti saka ajege lan rutine anggone kepengin ngajak patemon, iki pancen golongane wong serius. Paling ora njaluk kawigaten sasuwene seminggu iku wis pantes lamun diarani bab iki dudu gawe-gawe, apamaneh dolanan utawa nggodha. Ing kene Nirmala weksane rumangsa katantang. Dheweke kepengin nuduhake yen dudu golongane pribadi sing jirih nggetih. Embuh sapa wong kuwi, setan belang apa setan plontheng nedya diadhepi. Nirmala emoh kagelan yen mbokmanawa wong iki kanca lawas sing pancen butuh pitulangan. Sapa ngerti, kagawa boboting sesanggan kang abot nganti dheweke ora wani blaka.<br /> Warung sup buah sing dadi lengganane iku kapandeng landhep. Katone warung sing maune rame, saiki kaya-kaya wis katon lungse. Pancen rinasa kaku, abot lan rangu-rangu, nanging Nirmala tetep meksa sikile mantep jumangkah. Ora let suwe warung kuwi wis ana ngarepe. Saka njaba pancen wis katon pawongan nganggo jaket pink. Amung sapa wong iku Nirmala tetep angel nyipati, jalaran lungguhe ngungkurake lawangan. Rasa aneh rumambat ing dhadhane Nirmala, ewasemana cewek iki tetep krodha kanggo ngalahake rasa iku. Sikile wis mancik warung lan nuju ngarepe pawongan sing nganggo jaket pink iku.<br /> Pawongan iku nungkulake raine, lan Nirmala nyoba lungguh kursi klawan sithik ngawasake sapa satenane wong iku. <br /> “Nirmala….,” swara iku landhung ngundang jenenge.<br /> Mak dhat, prasasat kasamber bledheg atine. Nirmala nratab bareng weruh sapa satenane wong iku. Nirmala ngurungake niyate kanggo lungguh ana kursi. Klawan rai abang ireng Nirmala kepengin mbradhat lan cepet-cepet ninggalake papan kono. Nanging niyat mau cabar, ana tangan prakosa kang nyandhet lengene. <br /> “Nirmala, sepuranen aku. Aku salah,” swarane kebak rasa memelas.<br /> Nirmala panggah meneng. Pisan maneh nyoba uwal saka tangan prakosa mau, nanging tetep kalah rosa.<br /> “Kowe ngerti yen jaket iki saka sapa? Barang saka awakmu iki isih daksimpen, isih dakrumat lan saiki dakanggo. Ateges tresnaku ora nate luntur. Pancen sawetara wektu aku kena godha, nanging ati iki angel kanggo ngoncati awakmu, Mala,” maneh swara iku katon mrentul saka ati kang tulus.<br /> “Njur Tyasa,” Nirmala nanduki kanthi swara sedul<br /> “Dheweke iku racun ing lakon tresna iki, Mala,” swarane manteb.<br /> Nirmala datan bisa bangga, budi sing rosa kanggo uwal saka tangan prakosa mau wiwit lilih. Kumlebat rasa trenyuh ngelun rasane Kenya kanthi irung bangir iki prasasat kinebur samodra madu. Mripate kaca-kaca, luh mrembes megung ing tlapukaning mripat. Iki dudu luh duhkita, nanging luh kabagyan awit mutiara kang ilang saiki wis bali maneh. Ora nyana yen sing ngreridhu ing dina-dina salawase iki dudu wong anyar katon, apamaneh Lukman. Kenangapa saiki lagi eling, sapa sing kulina nganggo jaket pink iku, datan liya Rio. (*)<br />(wis nate kamot ing majalah Jayabaya)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-36365179598481235052010-02-15T23:37:00.000-08:002010-02-15T23:46:29.078-08:00Crita Cekak : TUMURUHE BUN ESUK<span style="font-weight:bold;">Anggitane : Yan Tohari</span><br /><br /> Ya ing kene, ing warung sing isih prasaja iki. Warung kang tinemu ing ngarep sekolahan kang limang taun kepungkur nate dadi kenangan jroning lembar uripku. Wektu limang taun dadi wanci kang tan mingsra, jalaran ora akeh ngowahi apa wae ing warung iku. Ewasemana wektu semono kuwi tetela kuwawa nilasake mawarna-warna lakon kang ngrenggani uripku. Wektu kang wus nyiptakake owah-owahan sing akeh, matumpuk-tumpuk. Neka-neka lan sing banget nyekethem rasa.<br /> “Kowe tetep bakal ninggal kutha iki kanggo nguyak gelar dhokter iku, Rul?” pitakone Endita marang aku sabubare acara perpisahan sekolahan limang taun kepungkur.<br /> “Kuwi pancen wis dakrancang suwe, End,” aku manthuk manteb.<br /> “Tetep Jakarta?” mripat endah kuwi kabuncang adoh.<br /> “Njur ngendi maneh? Ngiras pantes aku nedya ngerteni satemene apa sing narik ing kutha iku, katimbang Solo sing ngene-ngene terus.”<br /> Wangsulan iku kang kuwawa nggarit pasuryane Endita kaya kasiram labor abang. Aku ngerti mrentul rasa sujana kang sagunung gedhene. Aku ngerti niyatku iki prasasat kasedhihan tumrap dheweke. Lan aku ngerti amarga dheweke ora mungkin ninggal kutha budaya iki temah ora ngrilani awakku nerusake kuliah ana Jakarta.<br /> Limang taun kepungkur, ing warung sega rames iku aku bisa paweh alesan temah Endita ikhlas nampa aku tumuju Jakarta. Aku nguyak cita-cita kang suwe katandur ing angenku dening wongtuwaku. Wektu limang taun kasil dadekake aku dadi dhokter. Nganti saiki, nganti aku wis nyandhang titel dhokter, wis kaping papat aku nyelakake teka ing papan iki. Amung saperlu kanggo sauwen-uwen nyawang warung mau. Warung sing nilasake lelakon kawuri. Tetela ora akeh sing owah, kalebu cacahe pelanggan kang ajeg wae jajan ana kono.<br /> “Geneya?” batinku takon lirih.<br /> Sing kaping papat iki aku emoh menyat saka papan iki tanpa nyaking wangsulan, geneya warung iki prasasat ora akeh owah-owahane. Mbok Rumi klawan Pak Tirta, tetep dadi pilihane murid-murid SMA kene. Kekarone uga tetep nuduhake lageyan sing nyenengake. Kalebu kang baku racikan sega ramese kang tetep nuduhake rasa kang khas. “Maknyus,” mangkono gotheke para pelanggane saiki nalika bubar nikmati sega ramese.<br /> Malah sing nabetake kaelokan maneh, saben-saben aku mlebu warung iki tanggapan kang daktampa prasasat ora owah kaya sing kelakon sasuwene aku ing SMA ndhisik. Kuwi kang selot dadekake aku kudu sinau marang apa kang wis katindakake Mbok Rumi. Aku ngrasakake MBok Rumi klawan warung sega remes iku, pindhane tugu kang asring dadi tenger saben-saben lakune sejarah. Prasasat terminal Tirtonadi, tetep kuwawa dadi karaktere Solo nadyan wis maewu-ewu kendharaan mampir ing pangkone.<br /> Jroning ati iki nuli kaslempitan rasa iri, geneya aku gagal. Lakonku ora bisa lumaku kadidene warung sega ramese Mbok Rumi. Kasujananan, rasa tresna lan padha sih-sinian kadidene limang taun kepungkur katon luntur. Citarasa lan apa wae kang winangun ndhisik kepara gapuk lan ilang gapite. Endita, ing wektu iki wis dudu memanising uripku kaya limang taun kepungkur. Malah dheweke wis ilang saka reroncening uripku. Musna. Amung minggetake sisa-sisa lelakon sing kala-kala malah nyipta tatu ing ati.<br /> “Sepuranen, Rul. Aku kudu wani blaka, merga awakmu sing egois. Aku angel kanggo nerusake lelakon tresna kita,” siji setengah taun kepungkur gawang-gawang lumantar hp kandhane Endita banget nuwek dhadha. Lan sabanjure apa kang daksumelangake iku tetela dadi kasunyatan. Dudu perkara gampang ngreksa sawijine kasetyan temah dadi mutyara kang endah sajroning crita tresna. Luwih-luwih mring jaman saiki, kalebu aku, apadene Endita.<br /> “Aku egois, En? Tuduhna mapan ana ngendi sipat iku?” jroning saweneh kalodhangan aku nate pitakon mrang Endita.<br /> “Jakarta wis ngenggokake kawigatenmu marang aku, Rul.”<br /> “Ah, angel. Pancen ora gampang aku sawutuhe ngesok kawigaten marang awakmu, End. Tugas kuliah lan kasibukan kampus, uga njaluk kawigatenku,” swaraku memelas.<br /> “Nanging kowe uga bisa nindakake nalika ana SMA, Rul.”<br /> “End, tulung pangertenmu. Ini perguruan tinggi, bukan SMA maneh,” swaraku sansaya memelas wektu kuwi. Ewadene, Endita tetep puguh. Embuh daya apa sing nyurung panemune lan dheweke nekat medhot rajutaning tresna. Gelar dhokter pancen kasil dakgegem, nanging Endita mrucut saka atiku. Sabanjure apa bener aku egois? Apa kosokbaline malah Endita sing egois. Iki perlune aku kudu meguru klawan Mbok Rumi. Ibarat tresna, warung iku ati, dene apa sing katindake marang para pelanggan temah krasan jajan ing warung iku pindhane laku ngupakara tresna. Mbok Rumi nuduhake kabisan iku.<br /> Aku pancen kudu meguru klawan Mbok Rumi, geneya kuwawa melet klawan sakalir pelanggan temah setya jajan ana kono. Nadyanta ora diselaki tuwuh werna-werna warung ing kutha iki. Ora mung sing anyar, nanging uga luwih apik papane, malah-malah bisa wae luwih mirasa masakane. Ewasemana amarga katiyasane Mbok Rumi, para pelanggane tetep nyanthol ing warunge. Ora mung saiki, limang taun kepungkur, utawa ing mangsa kang luwih suwe maneh. Aku enggal kudu ngerteni apa resepe. Gilirane aku uga bakal ngerteni, endi sing kleru ing lakon tresnaku. Aku sing egois, apa satemene Endita sing malah egois.<br />“Lho nak Irul maneh?” tumanggape Mbok Rumi nalika ngerteni aku wis lungguh ing warunge. Semanak, semadulur lan kebak esem. Nadyan esem iku wiwit kacipta saka kulit-kulit kang selot kisut. “Eh, sepurane Pak Dhokter. Kok nak, lho,” tembunge klawan guyon.<br />“Mbok Rumi ora susah nganeh-anehi,” aku nyoba nyuwak swasana kaku.<br />“Dhahar Nak Irul?”<br />“Boten, es teh mawon,” kaya-kaya selera manganku durung teka. <br /> Ora let suwe es teh wis cumepak ana ngarepku. Kanggo neles gulu enggal daksruput, lan rasa anyep rumambat ing gurung. Kaya sing kelakon, saliyane aku gandrung klawan sega rames, aku uga seneng klawan panganan kuno sing tansah cumepak ing warunge Mbok Rumi, yaiku mentho. Panganan cemilan iki kagawe saka tepung gaplek lan diwenehi kacang brol. Rasane gurih, kemripik, klawan bumbu kencur sing katon menjila, nambah sedhepe panganan cemilan sing ana wiwit kuno iki.<br />Kapinujon nalika swasana warung rada sepi. Niyatku wis gembleng nedya pitakon apa sing sasuwene iki nggubel ing dhadha nedya daklairake. Geneya warung iki kuwawa melet klawan para pelanggane? Temah pelanggan mau tetep setya, nadyan ing papan liya ana warung anyar kang bisa wae luwih penak lan enak. Wangsulane Mbok Rumi iku bakal dakanggo sangu ngungak klawan crita tresnaku. Papan endi sing salah, laku piye sing kleru, tundhone aku bakal ora kesandhung lelakon padha ing liya wektu.<br />“Gampang, Nak,” wangsulane Mbok Rumi cekak nalika nanggapi pitakonku. Wangsulan sing dadekake aku bingung. Katon penak wae wanita tuwa iku paweh wangsulan.<br />“Gampang? Gampang pripun, MBok?” aku nlesih.<br />“Akeh-akehe wong iku seneng ngomong ning ora seneng ngrungokake. Lha aku mbudidaya ing perangan sing seneng ngrungokake iku, Nak. Apa sing dikarepake pelanggan, apa sing disenengi pelanggan, kalebu apa wae sing ora disenengi pelanggan, iku kabeh sing dakrungokake,” pratelane Mbok Rumi terwaca.<br />“Lha yen wis seneng ngrungokake nuli gelem ngowahi jumbuh klawan apa kang dikarepake pelanggan. Jalaran kandhane wong pinter yen wong tuku iku harak ratu. Mula becik aku ora nggugu karepku dhewe, kudu manut klawan sing tuku,” makglong rasane atiku. Kaya ana trontong-trontong sunar rembulan madhangi ati. “Gelem ngrungokake,” batinku baleni. <br />“Satemene kewasisane wong mono dudu kadeleng saka anggone pinter ngomong, nanging karilane anggone sumadhiya ngrungu. Lan iki sithik kang bisa nindakake,” tambahe Mbok Rumi sing karasa ora jamak dikandhakake jejere bakul ning jejere filosof. Kanthi iki matambah-tambah rasa gumunku klawan bakul rames iki. Dadi bener apa sing karungu saka pinisepuh biyen, bathok balu isi madu. Mbokmanawa iku gegambarane Mbok Rumi. “Wong kang rila ngrungu katimbang kakehan ngomong iku lumrahe bisa ngemong, mula racake dadi pribadi kang nyenengake,” tambahe Mbok Rumi.<br />Gelem ngrungu lan bisa ngemong, loro tumindak sing dadi resepe Mbok Rumi geneya warung iku tetep eksis jroning persaingan para bakul pangan. “Yen ngono apa ana ing lakon tresnaku, loro tumindak iku? Gelem ngrungu lan bisa ngemong?” batinku nlesih nalika sorot srengenge sore iki nrabas jendhela kamarku. Angel kanggo mbiji, apa aku sawijine pribadi sing gelem ngrungu lan bisa ngemong. Gawang-gawang ing limang taun kepungkur nalika Endita ngalangi aku supaya ora nekat ing Jakarata, ewasemana aku ora ngrewes tembung iku. Semono uga nalika Endita njaluk kawigaten, ana-ana wae alesan sing dakgawe, lan …<br />“Coba, Nak Irul ngalah sithik. Mbokmanawa iku bisa dadi dalan nak Endita bisa nampa tumindak-tumindak kang wus Nak Irul tindakake,” pratelane Mbok Rumi awan mau, nalika aku blaka yen Endita selot ngadoh sak dina-dinaku. Apa bener mangkono? Nyoba dakgoleki nomere Endita sing tetep kasimpen ing hp-ku. Tumuli ukara-ukara sing salawase iki angel dakrakit nyoba dakrakit. Agahan tembung-tembung mau dakkirim. Aku ngarepake muga-muga bisa ngowahi pandugane Endita, sing sasuwene netepake aku minangka priya egois. Nanging nganti kliwat jam sewelas bengi sms sing dakkirim tetep durung ana jawaban. Tuwuh niyat kanggo ngebel Endita, nanging dakwurungake. Mbokmanawa pancen pinggeting ati sing kasandhang Endita wis angel katambani, lan wis ora ana wewengkon ing atine kanggo aku.<br />Gagat bangun aku digawe kaget klawan swara dering hp. Rikat daksaut.<br />“Endita? Iya iki aku?” atiku trataban nampa telpune Endita.<br />“Sepuranen aku Rul, salawase iki aku sing satemene egois, dudu kowe,” pratelane Endita alon ing sabrang. Krungu pratelan iku atiku njola. Geneya malah Endita sing ngaku egois. Sapandurat aku ora bisa paweh wangsulan. Sing rinasa ing ati ana maewu-ewu kembang mlathi mrajak ngebeki angen-angenku. <br />“Nanging aku tetep tresna marang awakmu, End,” embuh geneya tembung kuwi sing wekasane kepara ucul saka lambeku.<br />“Ah Irul, …”wangsulane Endita sajak ngampet rasa.<br />Tuwuh esem ing lambeku. <br />Sineksen tumuruhe bun esuk atiku kumlesik, “Matur nuwun Mbok Rumi.” (*)YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-8188364749695530902010-02-09T19:38:00.000-08:002010-02-09T19:40:56.173-08:00GEGURITAN SIH KATRESNANNGENTHA TRESNA<br /><br /><br />daktemu sendhang bening ing resik pasuryanmu <br />papan aku nglarung wijiling tresna<br />nggambar arah pepandoming kapang, sarta<br />nyandhi pepethan edi manising esemu<br /><br />ing kene, sadawaning esuk lan sore<br />dakronce tembung, kareben awakmu nglenggana<br />aku pindha jaka tarub ing tepining panguripanmu<br />nunggu nganti kapan ngujiwatmu mboktinggal lelumban<br /><br />sabubare rembulan wutuh nusuh ing palung wengi<br />apuranen aku sing kapeksa ngentha kasulistyanmu<br />nggambar tipis lambemu ing saben erem mripatku<br />awit aku kepengin tansah kelingan sliramu <br />ing eling apa ora eling<br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008<br /> <br /> WIRAMA TRESNA<br /><br />mbokmanawa sliramu gelem ngerti, nimas<br />ana landhep kapang kang bareng turuhing cahya rembulan<br />nedya lelangen marang wening sendhang ing dhadhamu <br />ngedum rerumpakan kaendahaning wirama tresna<br />kekanthen njlajah wewengkon birahi nganti gisiking wengi<br /><br />nimas, nyata aku wus kegiwang mring lanciping kasamaran<br />wuru mring lintang kang manjing ing saripatining netramu<br />coba rungokna kumlesiking dhadha iki wis kekebakan manis<br />kaselak necep wewironing kanikmatan kang selot ngeglo<br />tinata cekli sauruting atimu sing winungkus meloking kluwung<br /><br />nimas,<br />nanging kenapa sliramu tansah sesingidan ing walik sepi<br />nlusup ing barisaning alang-alang kang selot kentekan mangsa<br />ninggalake aku kijenan ing pinggiring impen-impen wengi<br />sing amung rinengga tetes bun kang nelesi ros-rosaning suket teki<br /><br />mara gage, tumuruna nimas<br />mumpung rembulan durung kadohan anggone oncat<br />mumpung lintang isih sanggem nembangake roncen pemarem<br />lan tresna durung kebacut kepangan lamising jaman <br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008<br /> <br />NEGESAKE GEGADHANGAN<br /><br />wis ilang watese <br />atiku lan atimu manjing ing ulegan tresna<br />nalika dakrangkul weweging awakmu ing peturon iki<br />nalika langit mendem cahya kluwung ing sore iku<br />setitekna, kita bakal tetep gegandhengan <br />nuju papan sing dadi gegadhangan<br /><br />apa wus mbokgawe wangi lemah papan kita<br />nandur ewon kekarepan sing mblasah ing jogan omah<br />apa wus mbokgawe asri sacuwil pekarangan papan kita<br />ngracik wijine sih tresna<br /><br />ing kene, ing sap-sapan napas jiwa<br />ya kawitane gegadhangan mapag urip sejati<br />ing antarane mulya apa cilaka<br />ing antarane sedhela apa langgeng<br />ing antarane urip apa pati<br /><br />Karangdowo, Klaten, 2008YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-58011355443432000682010-02-08T02:16:00.000-08:002010-02-08T02:30:27.090-08:00GEGURITAN : YAN TOHARI<span style="color: rgb(255, 102, 0);">WENGISING ATI</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nalikane suket-suket prigis karenggut angin katiga</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">impenku kasangkut ing pang trembesi</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">saglugut ati durung katekan miyak esemmu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">geneya ing mangsa iki aku kudu ijen negesake wektu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">rilanana aku milihi keceran dedonga, sarta</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">memitran klawan wengi katlesepan wening bun</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">saiba angel ngetutake laku sepi sing pijer samun</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nawakake sagarit pawarta kapang saka kampung</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nimas, endi maneh sacangkir omben manis</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sumurupa ketiga wis sawetara nggerus isi dhadha</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kareben awan iki tembang-tembang kaprungu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">milihi swasana sing pingget dening kawengisan ati</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2007</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ING JANGKAH SING ISIH KADHUNG</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing jangkah sing isih kadhung</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngendi dununge urip untung</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kabegjan sasat kelangan keblat</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">uripku uripmu tembang urip-uripan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">cilik entheng kumanthil ing pang-pang papringan</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">bapak simbok wis kesel nggone tombok</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">jaman kerep slenca ing petungan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">banjur kapan tekane ratu adil</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang bisa muter taman sriwedari</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">cumondhok ing saben ati</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">marang panjenengan sing ngagem iket dhablang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing gigir sinengkelitan keris warangka ladrang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sora seru santering wicara selot angel kategesake</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nganti jaman kerep udan salahmangsa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">atiku durung tamat jlumati sakeret pakartimu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing kene sing sumisa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">amung sagedheng rasa panarima</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanggo dulang anak bojo kita</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing wis mataun-taun keliren dening rasaning rasa</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008 </span><br /><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">APA ISIH PAEDAH</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apa isih paedah dakukir rembulan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanggo mbasuh sedhih lan perih</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">temah wengi datan ana maneh pedhut</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang dadekake ati selot kepagut ing guna dhesti</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apa isih paedah dakreronce cahya lintang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanggo nuruh rasa getir kang nggubet dhadha</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">temah wengi datan ana maneh impen aneh</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang pijer nglelaga kanthi tembung-tembung ngayawara </span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing kene, </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing wanci dupa isih kumelun</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kembang-kembang kaduga ngimpu gandrung</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sarakit sesaji lan rapal tambal sakalir sengkala</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kepengin dakjarwakake sapantha jelih pangaru-ara</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">wis puluhan mangsa angen nusuh ing tlatah samun</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">pindhane carang gapuk kanggo urup-urup keren</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">jangkahku keblasuk marang poyang-payingan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kabeh wektu lebur kontal ing gelak mangsa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">temah urip panggah ketangsang awang-awang</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">WOLAK-WALIKING JAMAN</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">wis ora ana maneh tepa selira</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing atiku apadene atimu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing dina iki sakehing laladan malik pabaratan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">endi curigamu iki curigaku</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kita tegesake saben tembung kanthi pepetungan</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">wis ora ana maneh budaya</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ing latarku apadene latarmu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">malik dadi gedhung-gedhung tundha perwasa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngilepake ringkihe joglo lan gapuke pagupon</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">medhotake gang pekaranganku lan pekaranganmu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aja mboktangisi,</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">jalaran kudu mangkono lakune kodrat</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kita wekasane amung bakal dadi perangan lawas</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang kudu rila kaganti dening rerenggan anyar</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">temah jejibahan bakal paripurna</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008</span><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">MARANG SIBU</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">marang igamu sing kajejet sorot cahya rembulan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">papan edhum ngeyupake panasing panguripan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nyelehake sagerbong sesanggan lan maewu tatu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nawarake rerungkutane sukerta, saengga</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aku gandrung ing sewu taun pamengkumu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">bun kang ketes saka payudaramu prasasat segara madu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">papanku gegojegan sinambi necep aruming cahya lintang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">wus kandel kulit wus atos balung asil rerajutane sih tresnmu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">o, satemene aku mutiara jroning geter ilining getihmu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sibu, awit saka sorot sunar netramu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aku wani nantang tekaning dina sesuk</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nyrambah jembaring laladan sing katuwuhan alas cecangkriman</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">negesake urip kanthi rapal mantra-mantramu </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang mboktlesepake ing sela-selane keteg jantungku</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sibu, awit saka ririh ruruh raras pangandikamu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nedya dakadhepi pangamuke sukerta jaman </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">njlumati wewadine dina mbaka dina kanthi dhadha ngliga</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngasorake rungkut rengket rungketing panguripan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanthi ampuhing rasa eling klawan waspada</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">SEPULUH TAUN REFORMASI</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">natkala sore nggarisake lamis turut cakrawala</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dakjawil sliramu lumantar gurit ukara sinanggit</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sumurupa ing dalan iki ing wayah dungkap san gawe</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">duksemana, ing bunderan prapatan gladhak</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">maewu todhi mbedhah kutha kang kebak warisan iki</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dene saiki apa awakmu wus lali?</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">durung suwe apa sing kinaran reformasi</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ganda budaya iku malik dadi wenguring dahana</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">toko-toko kajarah, dalan-dalan dadi samodrane tembung misuh</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sliramu lan aku mbujung larahan warta duhkita</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">pirang-pirang kuwandha dadi kayu obonge jaman</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">banjur apa kang kuwawa kaundhuh</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apa mung ilining banyu bengawan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing ngelem saben mangsa udan?</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kaya ora ana owah-owahan sepuluh taun babahane jaman</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">beras, lenga, lan sakathahing rega kaya sansaya nglelaga</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">utang-utang kita amung bisa kasaur klawan tali plastik</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing kudu njiret gulu dening tangan-tangan kita dhewe</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apa mangkono garising nasib</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing tinulis ing panguripan kita</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dudu kalah</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nanging salah ? </span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apa mangkono garising nasib</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing tinulis ing panguripan kita</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dudu owah-owahan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nanging nandhang owah ? </span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">SANGAREPE BENTENG VASTENBURG</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sapandurat aku kangelan ngluru werdining esemu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sangarepe benteng vastenburg sliramu banget ngujiwat</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">prasasat wangine lumut kang nlusupi tembok tuwa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kapangku mbedhal nggeget lambemu sing panggah abang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">lan kita kekanthen lumayu sauruting alun-alun lor</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nyritakake ukiraning tresna </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing kapacak ing wengi-wengi nakal </span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">rikala rembulan aclum sapucuke ringin kembar</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanthi apa aku kudu blaka mring awakmu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">samangsane gurit wis dadi barang aneh ing jaman iki</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">salawase iki – uripku maksih katlikung rasa bingung</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nimas, durung asat isine gelas </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ayo bareng kita nikmati wengi sing mendem kadursilan jaman</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kanggo apa sliramu ngersula mring kanyatan sing ora nate adil</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kapan wae urip bakal mangkene lakone</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ibarat esemu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing tansah nggodha </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">lakune pandom wengi</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ibarat swara angin</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing tansah nggondhol lebu-lebu ratan gedhe</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">embuh mengko ngendi tibane…</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2008</span><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">SEJATINING ESEM</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">magurua klawan Ken Dedes nareswari Singasari</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sing ing lambene cinipta esem sejatining esem</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">pinulas otot-bayune birahi lan landhep curiga</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kongas keladuk sekti ngujiwatake jejangka</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">rikala jaman wis tan metungake sawernaning ruwang lan wektu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">apamaneh sing luwih perwasa saliyane esem lan pepaeka</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">magurua klawan Ken Dedes sing kekidungan mantra gendam</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nyidikara karosane Tunggul Ametung kanthi sejatine esem</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">temah kekuncaran malik dadi kanisthan</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sumurupa dina iki endahe donya amung sagegem ukara</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kagendhingake ledhek kethek lan kenya-kenya dhiskotik</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sumebar ana dalan-dalan lawas lan gedhung-gedhung tuwa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nadyan mbokuber ing lembar-lembar kamus susastra</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">tan ana sijia rumus kang wasis ngreka abang-ijone donya</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kajaba eseme Ken Dedes sing nitis ing pojok-pojok kutha</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten 1997</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">NEGESI LUMUNTURING SEPI </span><br /><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aku kepengin dadi suket teki mrajik urut gariting mangsa</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngrenggani dalan panuwunan kanthi cundhuk bening bun esuk</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">tetembangan bareng tumiyunge godhong-godhong wektu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngancani gagat rina sesendhonan klawan bocah-bocah angon</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dakkirih rasa kanggo negesi lumunturing sepi, klawan sliramu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">mbebedhag ing rungkuting wengi mbeburu klawan keteging samun</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">mara prasajaa, mumpung tlatah iki durung kinepung lendhot porong </span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">sarta isih kasisan damar kang dadi colok methik pentil-penting pasemon</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dadekna wengiku kapanjingan ewon ampuhing japa mantra</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aku kepengin dadi suket teki thukul ing sela-selaning rungkut nasib</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">ngajak sliramu mbujung cecangkriman: endi endahing sih tresna</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">nyantang baita samun nyabrangi wewadining kedhung panguripan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">: apa isih ana ing jaman iki, sepi kinarya santang njajagi jatidhiri</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);"> nylulupi mutiara jiwa kang selot ambles ana hera-heruning dhusta?</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, Januari 2007</span><br /><br /> <br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">TETALINING ADI </span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">lumantar sumiyuting angin daklari swaramu</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">dumeling saselaning kumitir alang-alang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">kang sesendhonan klawan cahya lintang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">e, tetela endah ukara kang tinata ing ros-ros pasuketan</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">pranyata sih tresna iku minangka tetalining adi</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">yen getihku getihmu mrentul saka tuk sumber kalbu</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">aja mbokumbar ati iki nlasaki lelungidaning pepalang</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">gendera-gendera ora cukup dadi pacaking tengara</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">njlumati wewadi sing kita temoni sadawaning rina-wengi</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">maragage kita ngempakake sih tresna dadi ujubing senjata</span><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">upama sliramu gendhewa, aku kang dadi warastra</span><br /><br /><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Karangdowo, Klaten, 2002</span>YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8217476643220127170.post-82372639554197610282010-02-06T08:25:00.000-08:002010-02-08T02:08:52.048-08:00Crita Cekak : REMBULAN KONCATAN MEGA<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 11"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 11"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CMITRAP%7E1%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="City"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="place"></o:smarttagtype><o:smarttagtype namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" name="State"></o:smarttagtype><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" latentstylecount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if !mso]><object classid="clsid:38481807-CA0E-42D2-BF39-B33AF135CC4D" id="ieooui"></object> <style> st1\:*{behavior:url(#ieooui) } </style> <![endif]--><style> <!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} h2 {mso-style-next:Normal; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; text-align:center; mso-pagination:widow-orphan; page-break-after:avoid; mso-outline-level:2; font-size:14.0pt; mso-bidi-font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman";} p.MsoBodyText, li.MsoBodyText, div.MsoBodyText {margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; line-height:190%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Tabel Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:#0400; mso-fareast-language:#0400; mso-bidi-language:#0400;} </style> <![endif]--><span style="font-weight: normal;font-family:Arial;font-size:12pt;" ><span style="font-weight: bold;font-size:100%;" >Cerkak : A. Arief Rachman</span><o:p></o:p></span><span style="font-family:Arial;"><o:p></o:p><span style=""> </span></span><span style=";font-family:Arial;font-size:9pt;" ><o:p></o:p></span> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Embuh kaya ngapa rupane tresna kuwi. Abang apa putih? Kang nyata wae tresna kerep gawe akeh wong tanpa daya, kalebu awakku. Kaya sing saiki nendheng nggubet ati. Kamangka crita tresna mau <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> adoh dakliwati, nanging nalika tunggak mau daktemokake e jebul gelem semi maneh. Iki sing banget gawe mendhelong ing rasa. Ora kanyana patemonku klawan Mas Darman, dadi tenger trubuse maneh lelangen lawas sing <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> tetaunan katinggal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Rasa goreh <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> kulina ngreridhu ati. Kalebu nalika wengi iki aku <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> ngglethak ana papan peturon. Ora dakselaki ana rasa salah kang pindha ula mrambati dhadhaku. Geneya ora? Nalika turu ana sisihe bojo, ati iki kaduga mikirake wong lanang liya. Saiba kejeme. Nanging kepriyea wae aku ora kuwawa ngipatake wewayangane Mas Darman. Priya sing ora kurang sewindu kepungkur ngrenggani wewengkon uripku. Priya sing nate dakgadhang dadi imbanganku nlasaki mendhak-mendhukule urip iki. Nanging kepara aku milih Mas Doni sawuse aku rong taun katinggal menyang Batam. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Apa ngene iki rasane wong mangro tingal. Mbokmanawa mangkene uga rasa kang tumama tumrap saben-saben ati kang mblenjani. Thukul rasa salah sing kuwawa nyipta goreh ing dhadha. Ewasemana, rasa mau ora kuwawa nungkulake ati kang lagi gandrung. Rasa dosa pilih kadlesepake jero ing lempitan ati. Ngganjel pancen. Nanging ora dakgawe rasa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Sepuranen aku Mas Doni,” lirih aku gumresah. Daksawang praupane bojoku sing semune kepenak kaiyun-bandul ing alam impen. Liwat guwayane sing lamat-lamat kasorot lampu kamar nuduhake rasa sing kesel tindhih tumindhih. Mbokmanawa pakaryan kantor sing akeh dadekake awake sayah banget. Maneh rasa dosa ndhodhog dhadha, ing ngarepe bojo sing kasayahan awit sadina wutuh makarya nyukupi butuh, geneya aku culika mikirake priya liya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Sepuranen aku Mas….,” pisan maneh aku gumresah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Saora-orane telung pihak kang dakkianati ing omah iki, kanggo ngrasakake rasa endah semu sing saiki lagi nguwasani ati. Sepisan, sapa maneh yen dudu Mas Doni, priya sing luwih enem taun iki ngrenggani dina-dinaku. Priya sing kanthi sawutuhe makarya kanggo paweh kabagyan tumrap aku, wong<span style=""> </span>kang dadi perangan uripe. Malah priya iki uga sing <st1:state st="on">wis</st1:state> nandur wiji tresna lan ngasilake woh siji, sawijine Andit, anak lanang kang lucu lan saiki <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> trubus dadi bocah kang cukup wasis. Kepara malah aku dhewe kang mutusake nalika kuwi yen dheweke kang wusana dakpilih katimbang Mas Darman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Sing kaping pindho Andit, bocah sing saiki dadi salah-sijine rerenggan ing bale wisma iki. Geneya, aku tega ngenggokake kawigatenku tumrap bocah lugu iku sing saiki dakdum kanggo wong liya. Andit, pancen salawase iki sing kulina dakanggo piranti nuruti tindak culika iki. Kanthi pawadan njaga Andit, ngeterake Andit, nukokake Andit lan embuh alesan apa maneh kanggo Andit, sing sajane amung dakanggo sapatemon klawan Mas Darman. Ana saweneh rasa kang gumulung ana dhadha lan kuwawa gawe dhadha iki seseg, ewasemana aku tetep ora kuwasa ngipatake dhadhung <st1:place st="on"><st1:city st="on">asmara</st1:city></st1:place> kang saiki nyeret uripku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Sing kaping telune, awakku dhewe. Pancen rasa dosa, salah, culika, duraka, lan mayuta rasa lethek liyane kawistara wela-wela gumelar ana ngarep jangkahku. Rasa mau katon ngegla lan kala-kala<span style=""> </span>mbudidaya ngeret jangkahku supaya ora nerusake laku. Nanging, embuh kadayan saka apa. Rasa <st1:city st="on">asmara</st1:city> keliwat <st1:place st="on">rosa</st1:place>. Rasa salah mau ringkih banget lan aku pilih ngapusi awakku dhewe. Wusana sapatemon klawan Mas Darman lan bisa ngronce angen-angen sing nate dakpecaki sakloron iku sing wekasane dakbelani.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Sepuranen aku Mas Doni, sepuranen ibu Dik Andit….,” pisan maneh ati iki kumlesik nelangsa. Ana luh mrembes ing mripat lan kaduga nelesi pipi ngelingi ana rasa dosa sing meh sagunung anakan nindhih dhadha. Edane, wewayangane Mas Darman uga kumlebat lan angel dakkipatake. Yen <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> ngene iki banjur sapa sing kudu daksalahake? Apa kudu lelakon sing kudu daksalahake? Lelakon kang tanpa daknyana nemokake aku klawan Mas Darman?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Iya, ing rong wulan kepungkur, nalika aku bubar ngeterake Andit mlebu les piano, dakselakake blanja ana Mall Solo Baru. Ing tengah-tengahe aku milang-miling golek apa sing entek ana pawon kedadak ana priya pidegsa sing ngawasi lakuku. Mulane aku rumangsa risih, awit menyang ngendi wae aku jumangkah kaya-kaya tansah kabledig dening panyawange. Nganti ing sawijine kalodhangan aku nekat nyolong ulat kanggo ngerteni sapa satemene wong iku. Mak dheg ! Praupan iku, brengos tipis, panyawang landhep lan dedeg priya kang pidegsa. Iki sawijine pribadi sing kaya nate daksipati. Karepe mono aku kepengin ngerti sawutuhe sapa priya kuwi. Nanging jejering wanita, iku ora pantes, mula karep mau enggal dakwurungake.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Ora let suwe malah priya mau kandha lirih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Retno…, jenengan Retno ta?” swara iki sing dadekake atiku sabanjure trataban.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Mas Darman, ya?” sapandurat aku angel kumecap.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Babarpisan ora nate kapikir yen aku bakal ketemu klawan priya iku, sawuse kang pungkasan aku ngeterake dheweke nedya budhal menyang Batam. Aku krungu dheweke <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> kulawarga ana kono. Nanging geneya, Mas Darman saiki ana Solo? Ijen pisan, lha garwane. Aku ora wani nlesih. Wolung taun lumaku lan ora ana sedhetik wae nate ketemu, ati iki isih trataban kayadene puluhan taun kepungkur. Natkala aku lan dheweke dadi kanca anyar ing sawijine SLTP ing kutha bengawan iki. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Jeng Retno kaget, aku bisa ana kene?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Aku mung manthuk karo mesem. Kaya pisanan kae nalika aku ketemu dheweke.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“<st1:place st="on"><st1:state st="on">Wis</st1:state></st1:place> ana <span style=""> </span>patang wulan iki aku mimpin proyek ana wilayah kene. Sasuwene iku aku ngarep-arep bisa kepethuk awakmu, ning lagi iki bisa kelakon. Piye kabare?” swarane panggah kalem kaya welasan taun kepungkur. Lan kang kalem kuwi sing dadekake aku kepencut nalika pisanan ketemu dhek semana. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Apik mas, kabeh padha sehat-sehat,” wangsulanku cekak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Doni?” pitakone semu abot.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Apik,” wangsulanku lirih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Doni pancen dadi wong begja, dheweke sing kasil darbeni awakmu.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Pancen, sepurane mas aku sing luput,” mripatku wiwit kembeng-kembeng. Rasa salah lir sagunung anakan gumandhul abot ing dhadha iki.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Ora. Sliramu ora salah, jeng. Aku sing luput. Geneya aku nekat budhal Batam.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Mas Darman, kondur ijen?” aku nyoba ngenggokake laku kanggo ngipatake wewayangan lelakon lawas sing wiwit ngalela.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Dheweke manthuk. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Aku krungu jenengan ya <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> kulawarga Mas?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Ya, tapi kulawargaku gagal.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Sebabe?”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Ah, kaya-kaya ora pantes kanggo dikandhakake,” Mas Darman nguncalake panyawange ing adoh sajanbaning mall.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Sepuranen Mas yen pitakon iki dadekake jenengan sedhih.”<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Mangkono iku sapatemon pisanan klawan Mas Darman. Anehe nuli kasusul patemon-patemon sabanjure. Patemon sing kliwat omber daktindakake, jalaran Mas Doni kulina tindak kantor lan asring sedina wutuh makarya. Pisan pindho aku ngrasakake kaku, nanging ing sabanjure kabotan kanggo nduwa kalamun Mas Darman nawani supaya aku nemoni. Embuh, ana rasa tentrem lan nengsemake nalika aku cerak klawan dheweke. Nalika bisa crita kenangan-kenangan lawas sing nate dakpecaki sakloron. Nggambar maneh wewengkon tresna kang nate mrucut dakkukuhi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Sepuranen aku Mas Doni,” sepisan maneh batinku kumlesik. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Pisan maneh daksawang praupane bojoku kang kulmeyang ing alam impen, datan ana polatan cubriya sethithika kang katlisip ing praupane. Dina-dina lumaku sarwa biyasa kaya padat saben. Pancen iki mbokmanawa kagawa anggonku tlesih lan rapi nglempit lelakon iki. Aja nganti ana lembaran lawas sing kaganda dening Mas Doni. Dina-dina lumaku aku kudu bisa maragakake yen ora ana apa-apa ing kulawarga iki.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Kadinene wengi iki aku uga tansah nyandhing turune, lan mengko nangekake dheweke nalika jam <st1:state st="on">wis</st1:state> nuduhake setengah <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:city></st1:place> kanggo siap-siap budhal kantor. Rencanane dina iki budhal risik, ana patemon klawan saweneh pihak sing bakal makarya bareng. <span style=""> </span>Minangka karyawan ing saweneh perusahaan swasta, Mas Doni kalebu pekerja sregep. Mula tansah cerak klawan pimpinane. Pancen ing pojok ati iki rumangsa mongkog duwe bojo kaya Mas Doni. Saliyane sregep, uga tekun. Prasasat ora nate ana masalah klawan papane makarya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Ora kanyana wengi <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> selot adoh. Jam sing cumanthel ing tembok <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> nuduhake jam loro, ewasemana mata iki durung ngantuk. Malah ana rasa sumelang kanggo ngeremake mripat, aja-aja keblandhang lan ora bisa nggugah Mas Doni ing setengah <st1:place st="on"><st1:city st="on">lima</st1:city></st1:place> mengko. Mak nyat, <span style=""> </span>aku dadi kepengin nginguk ing kamare Andit, mbokmanawa kemule ora pernah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Tekan kamare Andit, ora beda klawan Mas Doni, bocah kuwi uga polos, turu tanpa ana rasa apa-apa. Mripat lugu kang saglugut wae ora nggambarake rasa cubriya yen ibuke <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> kaseret ing tindak nasar. Dakceraki mutiara ing kulawarga iki sing <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> dadi perangan endah ana uripku. Daksun pipine kang alus, “Sepuranen ibu ya Nang,” batin iki kumlesik. Saiba gedhe tumpukan dosa iki, geneya ing saksisihe wong-wong kang tulus aku tega tumindak culika. Kepengin sepisan maneh dakaras pipine kanggo nebus dosa, nanging dumadakan aku digawe kaget dening swara saka kamare Mas Doni. Aku menyat lan age-age nuju kamar iku.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Ana apa Mas?” nalika aku <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> nyandhing Mas Doni sing sajak isih gugub.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Batal, dina iki batal sapatemon klawan pihak sing nedya nggarap gedhung perusahaan,” kandhane Mas Doni karo isih nggegem hp.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Geneya, Mas?” pitakonku nlesih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Iki wacanen dhewe sms saka satpam,” Mas Doni ngulungake hp.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“<i style="">Rencana pertemuan batal. Darman Sukarsa, ditemukan tewas dihotel karena kelebihan dosis</i> .”<span style=""> </span>Sapa? Darman Sukarsa?! Batin iki trataban. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Darman Sukarsa iku sapa Mas?” pitakonku ora sranta.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Dheweke kontraktor sing rencanane bakal mbangun perluasan perusahaan, sing wektu iki uga lagi mbangun sawijine super market ing Solo kene. Iki aku nyimpen kartu namane lan ana potone,” age dakcandhak kartu nama sing diulungake Mas Doni.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>Prasasat kaya kasamber petir ing tengah awan aku ora bisa ngendhani rasa kaget. Jebul wong kuwi Mas Darman. Dumadakan dhadha iki kaya kepenthung, klawan dakgegem kenceng kartu nama iku dakrenguh ing dhadha. Luh ora bisa dakampah dleweran sasat bendungan lagi jebol. Mesthi wae Mas Doni bingung, lan kebak tandha pitakon.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText"><span style="font-family:Arial;"><span style=""> </span>“Lho ana apa Ret, kok kowe nangis? Sapa Pak Darman iku? Apa sedulurmu? Apa kancamu? Apa ipemu? Apa…?” Makaping-kaping Mas Doni takon. Nanging aku ora bisa paweh wangsulan, anane mung gedheg lan gedheg. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Ewasemana aku ora kepengin ngurubake rasa cubriya sing kaya-kaya wiwit kacethik ing atine Mas Doni. “Aku mung mbayangake Mas, yen kabar kuwi tumama ing aku,” wangsulanku sakenane klawan ngrangkul dheweke.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">“Ning kabar iki harak dudu kanggo kowe ta.” Mas Doni males ngrengkuh kenceng lan kaya bisa <st1:place st="on"><st1:city st="on">nampa</st1:city></st1:place> wangsulanku . <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-family:Arial;">Pisan maneh rasa dosa ndhodhog rasaku. Temene tangis iku dudu amarga kuwi. Ati iki ora kuwagang <st1:place st="on"><st1:city st="on">nampa</st1:city></st1:place> ilange Mas Darman sing kaya angin.<span style=""> </span>Nadyan ilange Mas Darman, pindha ilang uga mega sing salawase iki ngaling-alingi kaindahan rembulan uripku. Mbokmanawa kudu mangkene pungkasane laku. Mas Darman pancen <st1:place st="on"><st1:state st="on">wis</st1:state></st1:place> dudu sewindu kepungkur, katitik geneya seda kanthi <i style="">over dosis</i>. Rasa sukur dakkonjuke mring Gusti, kang nggarisake Mas Doni minangka dermaganing katresnanku. (wis nate kamot ing Majalah Jaya Baya).<o:p></o:p></span></p> YAN TOHARIhttp://www.blogger.com/profile/15280356231989358431noreply@blogger.com0