BAB-BAB KANG JAWANI, MURIH TINEMU AYEMING ATI

KLAWAN SIRA KANG TRESNA MRING SASTRA BUDAYA JAWA, NYAWIJI ING KENE

Rabu, 03 November 2010

LEGENDA NYAI DLONGEH

LEGENDA LEDEK NYAI DLONGEH
CERITA DARI KLATEN
Oleh Yan Tohari
Nyai Dlongeh adalah seorang ledek yang beranjak dewasa dari sebuah kampung kecil lereng perbukitan Diwon. Walaupun dari kampung tetapi suara, penampilan sekaligus kepiawaian olah tari sangatlah mumpuni. Maka tak ayal menjadikan Nyai Dlongeh mudah dikenal dan digandrungi para pecinta ledek. Dimana rombongan ledek itu keliling selalu mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Hidup sebagai ledek memang sudah menjadi pilihan, karena dengan itu Nyai Dlongeh mampu memenuhi kebutuhan hidup yang sudah sebatang kara yang sejak kecil telah ditinggal kedua orangtua. Kini hidup Nyai Dlongeh menumpang di tempat pamannya yang sekaligus sebagai ketua rombongan ledek, yaitu Ki Bangkek. Saat habis panen rombongan ledek Nyai Dlongeh berkeliling sampai jauh keluar wilayah perbukitan Diwon. Ledek adalah bentuk hiburan yang ada dan murah saat itu, maka sewajarnya saat habis panen menjadi hiburan di kalangan rakyat kecil.
Jauh dari wilayah perbukitan Diwon, tersebut sebuah tokoh narapraja di Kerajaan Pajang, Tumenggung Kebolandhu. Tokoh ini memang kelihatannya ingin memanfaatkan peluang untuk merongrong kekukuasaan Adipati Benowo yang saat itu telah mulai redup. Apalagi Pajang kala itu pada posisi terjepit karena selalu mendapat desakan dadi Mataram yang kelihatannya mulai bersinar dan perkembang menjadi kerajaan besar saat diperintah oleh Danang Sutawaijaya.
Diluar pengetahuan Adipati Benowo, Tumenggung Kebolandhu merekrut para tokoh-tokoh yang tersebar di berbagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Tak ketinggalan pula seorang tokoh yang tinggal tidak jauh dari perbukitan Diwon, tepatnya di pucuk Gunung Beluk bernama Ki Joko Pekik. Seorang tokoh yang cukup sakti dan dihormati di sekitar Gunung Beluk. Tokoh yang terkenal memiliki area pertanian yang luas ini juga memiliki murid atau pengikut yang lumayan banyak. Kelebihan itulah yang mendorong Tumenggung Kebolandhu mendekati Ki Joko Pekik.
Saat hari menjelang senjakala, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu, yaitu Rumeksa dan Kulumbana mendekati lereng Gunung Beluk. Keduanya di utus untuk menemui Ki Joko Pekik. Tapi belum lagi Rumeksa dan Kulumbana menuju ke puncak Gunung Beluk, tanpa terlihat tanda-tanda sebelumnya munculah dua orang pemuda yang secara tiba-tiba menyerang kedua prajurit Pajang itu. Namun, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu itu bukan prajurit sembarangan. Walau serangan itu datang tiba-tiba, keduanya mampu mengelak. Untuk selanjutnya terjadi pertarungan antara mereka.
Merasa agak terdesak kedua pemuda lereng Gunung Beluk itu segera mengeluarkan senjata, namun Rumeksa dan Kulumbana tak menginginkan pertempuran itu berlanjut. Untuk sejenak keduanya terhenti, dan secara bersamaan mengeluarkan benda dari balik baju berupa lempengan logam. Itulah tanda atau simbol, jika Rumeksa dan Kulumbana adalah datang bukan sebagai musuh. Akhirnya pemuda lereng Beluk itu memahami, segera keduanya menghantar kedua utusan Pajang itu menemui Ki Joko Pekik.
Dihadapan Ki Joko Pekik, Rumeksa dan Kulumbana menyampaikan pesan dari Tumenggung Kebolandhu, bahwa narapraja Pajang itu untuk beberapa hari mendatang akan berkunjung ke Gunung Beluk. Sekaligus ingin mengajak bergabung dalam menyusun kekuatan merebut kekuasaan Adipati Benowo. Hal itu sangatlah disetujui oleh Ki Joko Pekik, sehingga sepeninggal Rumeksa dan Kulumbana tokoh dari Gunung Beluk itu mempersiapkan segala sesuatu, tak lupa sajian hiburan dengan mengundang Ledek Nyai Dlongeh.
Kedatangan Tumenggung Kebolandhu disambut meriah oleh Ki Joko Pekik dan para muridnya. Hingga sampai sajian hiburan Ledek Nyai Dlongeh ditampilkan. Tumenggung Kebolandhu sangat terkesan, apalagi melihat paras Nyai Dlongeh yang cantik, gerak tari lemah gemulai dan suara yang syahdu. Dari situlah timbulah niat untuk memperistrinya. Tapi niat itu ditahan, dan untuk lain kali Tumenggung akan berutusan punggawa memboyong Nyai Dlongeh ke Pajang.
Ternyata keinginan Tumenggung Kebolandhu untuk memperistri Nyai Dlongeh bukan main-main, di suatu hari datanglah dua utusan di perbukitan Diwon untuk mengambil Nyai Dlongeh. Walau akan diperistri seorang Tumenggung tapi Nyai Dlongeh tidak mau. Bahkan bujukan sang paman pun tak dihiraukan oleh Nyai Dlongeh. Entah apa sebabnya mengapa Nyai Dlongeh tidak mau, seperti ada sesuatu rahasia yang disembunyikan.
Atas sikap Nyai Dlongeh yang tak mau menurut itu tentu saja membuat dua utusan Tumenggung Kebolandhu marah. Tak ada cara lain kedua utusan itu menggunakan kekerasan dalam melaksanakan tugas. Ki Bangkek, melihat kejadian itu tidak terima. Maka segala upaya dilakukan untuk menghalangi niat kedua prajurit Pajang tersebut. Sayang, tugas berat yang dilimpahkan terhadap prajurit itu membuat keduanya bertindak secara kasar. Ki Bangkek terpaksa dilumpuhkan, dan Nyai Dlongeh berhasil di bawa ke Pajang.
Beberapa hari tinggal di keputren katemenggungan seakan di neraka yang dirasakan Nyai Dlongeh. Hatinya begitu hancur, kesedihannya serasa memuncak saat teringat akan nasib beberapa orang yang ikut rombongannya. Tak lupa dengan penderitaan Ki Bangkek yang tentu saja selain menderita raga juga tak memiliki penghasilan karena kegiatan pertunjukkan ledek keliling terhenti.
Hingga saat malam tiba, Tumenggung Kebolandhu menghampiri Nyai Dlongeh. Hasrat yang membuncah di dada Tumenggung Kebolandhu sudah tidak tertahankan, maka segera dihampiri ledek itu untuk memenuhi syahwatnya. Atas kekuatan yang dimiliki Tumenggung, Nyai Dlongeh tak berdaya. Namun tindakan kasar Tumenggung terhenti, dia terkejut dan marah. Maka segera meninggalkan Nyai Dlongeh di dalam kamar dan buru-buru mencari prajurit.
Malam itu juga Nyai Dlongeh di suruh untuk dipulangkan. Sungguh tidak bisa dilukiskan betapa kecewa, malu, dongkol dan marah hati Tumenggung Kebolandhu, saat tersingkap keaslian Nyai Dlongeh. Ya, malam itu Tumenggung Kebolandhu tahu bahwa sebenarnya ledek yang memikat hatinya itu sebenarnya bukan asli wanita. Paras cantik dan gerak tari yang gemulai itu tak sesuai dengan apa yang digambarkan dalam benak Tumenggung, sebab Nyai Dlongeh adalah seorang waria.
Prajurit yang dipercaya memulangkan Nyai Dlongeh malam itu dibekali senjata keris lan tali. Atas rasa kecewa yang memuncak dan rasa malu maka Tumenggung Kebolandhu tidak ingin Nyai Dlongeh pulang dalam keadaan hidup. Prajurit itu diutus untuk membunuh Nyai Dlongeh saat sampai di perkampungannya. Pusaka keris untuk membunuh, dan tali yang terbuat dari benang putih untuk mengikat mayat Nyai Dlongeh diatas pohon.
Malang memang nasib yang menimpa Nyai Dlongeh, malam itu, saat telah sampai di wilayah yang tidak jauh dari lereng Diwon di suatu gerumbul Nyai Dlongeh di bunuh. Mayatnya diikat di batang pohon dan ditinggal begitu saja. Darah yang menetes jatuh ke tanah membuat tanah itu menjadi tanah sukerta. Artinya, sampai saat itu siapapun tidak boleh menanami tanah gerumbul itu. Pernah ada yang nekat, menanami gerumbul itu dengan tanaman kedelai. Namun saat kedelai itu dipanen dan di makan, maka sekeluarga itu menderita sakit diare. Sampai sekarang tidak ada yang berani mencoba menanami kembali.
Pagi harinya warga perbukitan Diwon menjadi gempar saat ditemukan mayat Nyai Dlongeh yang tertambat dipohon Belimbing. Dikemudian hari kampung dimana mayat Nyai Dlongeh ditemukan diberi nama kampung Blimbing. Maka segera mayat itu dirawat dan dikubur di tanah tidak jauh dari tempat tinggal Ki Bangkek, tepatnya di perbukitan Diwon.
Saat malam tiba, pada suasana yang begitu hening Ki Bangkek meratapi hidupnya juga kehidupan keponakannya Nyai Dlongeh yang bernasib tragis. Mengapa celaka nian nasib yang menimpa pada kehidupannya. Saat sepi kian menjelang, Ki Bangkek dibuat terhenyak ketika dihadapannya melintas bayangan Nyai Dlongeh. Bayangan itu seraya berucap “Bapa Bangkek jangan bersedih hati, kini aku telah hidup bahagia. Pesanku jangan bangun kuburku sampai kapanpun. Sebab aku ingin segalanya apa adanya. Dan ingat, saat nanti apabila ada satriya dari selatan yang jiarah di kuburku, maka orang itulah yang akan membalaskan kekejaman yang aku terima.” Demikian kata-kata samar terucap dan terus diingat oleh Ki Bangkek.
Beberapa bulan kemudian Ki Bangkek ditemui seorang pemuda yang berkeinginan mau bertapa di bukit Diwon. Laki-laki itu mengaku datang dari selatan, persisnya wilayah tepi Laut Kidul. Pemuda itu mengaku bernama Mas Tompe. Batin Ki Bangek teringat akan pesan Nyai Dlongeh, mungkin pemuda ini yang akan memberikan kepuasan akan ratapan nasib sedih yang menimpa selama ini. Maka betapa gembira hati Ki Bangkek, dendam kepada Tumenggung Kebolandu akan segera terbalas.
Mas Tompe sampai beberapa hari bertapa di bukit Diwon, dan akhirnya pemuda itu berpamitan kepada Ki Bangkek untuk meneruskan perjalanannya. Pemuda itu berjalan ke utara, ya semakin jelas apa yang dipesankan Nyai Dlongeh bahwa orang ini yang akan membalaskan dendamnya kepada Tumenggung Kebolandhu.
Betul memang, Mas Tompe yang akhirnya berkuasa di Pajang. Dan atas niat yang terungkap bahwa Tumenggung Kebolandhu menyusun kekuatan untuk merongrong Pajang maka diberikan hukuman mati. Kabar atas hukuman mati terhadap Tumenggung Kebolandhu sampai pada Ki Bangkek, betapa gembira dan bersyukurnya paman Nyai Dlongeh mendapat kabar itu. Hingga akhir hayat Ki Bangkek tak meninggalkan kawan bukit Diwon, maka daerah itu akhirnya diberi nama kampung Bangkek. (*)