BAB-BAB KANG JAWANI, MURIH TINEMU AYEMING ATI

KLAWAN SIRA KANG TRESNA MRING SASTRA BUDAYA JAWA, NYAWIJI ING KENE

Rabu, 03 November 2010

LEGENDA NYAI DLONGEH

LEGENDA LEDEK NYAI DLONGEH
CERITA DARI KLATEN
Oleh Yan Tohari
Nyai Dlongeh adalah seorang ledek yang beranjak dewasa dari sebuah kampung kecil lereng perbukitan Diwon. Walaupun dari kampung tetapi suara, penampilan sekaligus kepiawaian olah tari sangatlah mumpuni. Maka tak ayal menjadikan Nyai Dlongeh mudah dikenal dan digandrungi para pecinta ledek. Dimana rombongan ledek itu keliling selalu mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Hidup sebagai ledek memang sudah menjadi pilihan, karena dengan itu Nyai Dlongeh mampu memenuhi kebutuhan hidup yang sudah sebatang kara yang sejak kecil telah ditinggal kedua orangtua. Kini hidup Nyai Dlongeh menumpang di tempat pamannya yang sekaligus sebagai ketua rombongan ledek, yaitu Ki Bangkek. Saat habis panen rombongan ledek Nyai Dlongeh berkeliling sampai jauh keluar wilayah perbukitan Diwon. Ledek adalah bentuk hiburan yang ada dan murah saat itu, maka sewajarnya saat habis panen menjadi hiburan di kalangan rakyat kecil.
Jauh dari wilayah perbukitan Diwon, tersebut sebuah tokoh narapraja di Kerajaan Pajang, Tumenggung Kebolandhu. Tokoh ini memang kelihatannya ingin memanfaatkan peluang untuk merongrong kekukuasaan Adipati Benowo yang saat itu telah mulai redup. Apalagi Pajang kala itu pada posisi terjepit karena selalu mendapat desakan dadi Mataram yang kelihatannya mulai bersinar dan perkembang menjadi kerajaan besar saat diperintah oleh Danang Sutawaijaya.
Diluar pengetahuan Adipati Benowo, Tumenggung Kebolandhu merekrut para tokoh-tokoh yang tersebar di berbagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Tak ketinggalan pula seorang tokoh yang tinggal tidak jauh dari perbukitan Diwon, tepatnya di pucuk Gunung Beluk bernama Ki Joko Pekik. Seorang tokoh yang cukup sakti dan dihormati di sekitar Gunung Beluk. Tokoh yang terkenal memiliki area pertanian yang luas ini juga memiliki murid atau pengikut yang lumayan banyak. Kelebihan itulah yang mendorong Tumenggung Kebolandhu mendekati Ki Joko Pekik.
Saat hari menjelang senjakala, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu, yaitu Rumeksa dan Kulumbana mendekati lereng Gunung Beluk. Keduanya di utus untuk menemui Ki Joko Pekik. Tapi belum lagi Rumeksa dan Kulumbana menuju ke puncak Gunung Beluk, tanpa terlihat tanda-tanda sebelumnya munculah dua orang pemuda yang secara tiba-tiba menyerang kedua prajurit Pajang itu. Namun, kedua utusan Tumenggung Kebolandhu itu bukan prajurit sembarangan. Walau serangan itu datang tiba-tiba, keduanya mampu mengelak. Untuk selanjutnya terjadi pertarungan antara mereka.
Merasa agak terdesak kedua pemuda lereng Gunung Beluk itu segera mengeluarkan senjata, namun Rumeksa dan Kulumbana tak menginginkan pertempuran itu berlanjut. Untuk sejenak keduanya terhenti, dan secara bersamaan mengeluarkan benda dari balik baju berupa lempengan logam. Itulah tanda atau simbol, jika Rumeksa dan Kulumbana adalah datang bukan sebagai musuh. Akhirnya pemuda lereng Beluk itu memahami, segera keduanya menghantar kedua utusan Pajang itu menemui Ki Joko Pekik.
Dihadapan Ki Joko Pekik, Rumeksa dan Kulumbana menyampaikan pesan dari Tumenggung Kebolandhu, bahwa narapraja Pajang itu untuk beberapa hari mendatang akan berkunjung ke Gunung Beluk. Sekaligus ingin mengajak bergabung dalam menyusun kekuatan merebut kekuasaan Adipati Benowo. Hal itu sangatlah disetujui oleh Ki Joko Pekik, sehingga sepeninggal Rumeksa dan Kulumbana tokoh dari Gunung Beluk itu mempersiapkan segala sesuatu, tak lupa sajian hiburan dengan mengundang Ledek Nyai Dlongeh.
Kedatangan Tumenggung Kebolandhu disambut meriah oleh Ki Joko Pekik dan para muridnya. Hingga sampai sajian hiburan Ledek Nyai Dlongeh ditampilkan. Tumenggung Kebolandhu sangat terkesan, apalagi melihat paras Nyai Dlongeh yang cantik, gerak tari lemah gemulai dan suara yang syahdu. Dari situlah timbulah niat untuk memperistrinya. Tapi niat itu ditahan, dan untuk lain kali Tumenggung akan berutusan punggawa memboyong Nyai Dlongeh ke Pajang.
Ternyata keinginan Tumenggung Kebolandhu untuk memperistri Nyai Dlongeh bukan main-main, di suatu hari datanglah dua utusan di perbukitan Diwon untuk mengambil Nyai Dlongeh. Walau akan diperistri seorang Tumenggung tapi Nyai Dlongeh tidak mau. Bahkan bujukan sang paman pun tak dihiraukan oleh Nyai Dlongeh. Entah apa sebabnya mengapa Nyai Dlongeh tidak mau, seperti ada sesuatu rahasia yang disembunyikan.
Atas sikap Nyai Dlongeh yang tak mau menurut itu tentu saja membuat dua utusan Tumenggung Kebolandhu marah. Tak ada cara lain kedua utusan itu menggunakan kekerasan dalam melaksanakan tugas. Ki Bangkek, melihat kejadian itu tidak terima. Maka segala upaya dilakukan untuk menghalangi niat kedua prajurit Pajang tersebut. Sayang, tugas berat yang dilimpahkan terhadap prajurit itu membuat keduanya bertindak secara kasar. Ki Bangkek terpaksa dilumpuhkan, dan Nyai Dlongeh berhasil di bawa ke Pajang.
Beberapa hari tinggal di keputren katemenggungan seakan di neraka yang dirasakan Nyai Dlongeh. Hatinya begitu hancur, kesedihannya serasa memuncak saat teringat akan nasib beberapa orang yang ikut rombongannya. Tak lupa dengan penderitaan Ki Bangkek yang tentu saja selain menderita raga juga tak memiliki penghasilan karena kegiatan pertunjukkan ledek keliling terhenti.
Hingga saat malam tiba, Tumenggung Kebolandhu menghampiri Nyai Dlongeh. Hasrat yang membuncah di dada Tumenggung Kebolandhu sudah tidak tertahankan, maka segera dihampiri ledek itu untuk memenuhi syahwatnya. Atas kekuatan yang dimiliki Tumenggung, Nyai Dlongeh tak berdaya. Namun tindakan kasar Tumenggung terhenti, dia terkejut dan marah. Maka segera meninggalkan Nyai Dlongeh di dalam kamar dan buru-buru mencari prajurit.
Malam itu juga Nyai Dlongeh di suruh untuk dipulangkan. Sungguh tidak bisa dilukiskan betapa kecewa, malu, dongkol dan marah hati Tumenggung Kebolandhu, saat tersingkap keaslian Nyai Dlongeh. Ya, malam itu Tumenggung Kebolandhu tahu bahwa sebenarnya ledek yang memikat hatinya itu sebenarnya bukan asli wanita. Paras cantik dan gerak tari yang gemulai itu tak sesuai dengan apa yang digambarkan dalam benak Tumenggung, sebab Nyai Dlongeh adalah seorang waria.
Prajurit yang dipercaya memulangkan Nyai Dlongeh malam itu dibekali senjata keris lan tali. Atas rasa kecewa yang memuncak dan rasa malu maka Tumenggung Kebolandhu tidak ingin Nyai Dlongeh pulang dalam keadaan hidup. Prajurit itu diutus untuk membunuh Nyai Dlongeh saat sampai di perkampungannya. Pusaka keris untuk membunuh, dan tali yang terbuat dari benang putih untuk mengikat mayat Nyai Dlongeh diatas pohon.
Malang memang nasib yang menimpa Nyai Dlongeh, malam itu, saat telah sampai di wilayah yang tidak jauh dari lereng Diwon di suatu gerumbul Nyai Dlongeh di bunuh. Mayatnya diikat di batang pohon dan ditinggal begitu saja. Darah yang menetes jatuh ke tanah membuat tanah itu menjadi tanah sukerta. Artinya, sampai saat itu siapapun tidak boleh menanami tanah gerumbul itu. Pernah ada yang nekat, menanami gerumbul itu dengan tanaman kedelai. Namun saat kedelai itu dipanen dan di makan, maka sekeluarga itu menderita sakit diare. Sampai sekarang tidak ada yang berani mencoba menanami kembali.
Pagi harinya warga perbukitan Diwon menjadi gempar saat ditemukan mayat Nyai Dlongeh yang tertambat dipohon Belimbing. Dikemudian hari kampung dimana mayat Nyai Dlongeh ditemukan diberi nama kampung Blimbing. Maka segera mayat itu dirawat dan dikubur di tanah tidak jauh dari tempat tinggal Ki Bangkek, tepatnya di perbukitan Diwon.
Saat malam tiba, pada suasana yang begitu hening Ki Bangkek meratapi hidupnya juga kehidupan keponakannya Nyai Dlongeh yang bernasib tragis. Mengapa celaka nian nasib yang menimpa pada kehidupannya. Saat sepi kian menjelang, Ki Bangkek dibuat terhenyak ketika dihadapannya melintas bayangan Nyai Dlongeh. Bayangan itu seraya berucap “Bapa Bangkek jangan bersedih hati, kini aku telah hidup bahagia. Pesanku jangan bangun kuburku sampai kapanpun. Sebab aku ingin segalanya apa adanya. Dan ingat, saat nanti apabila ada satriya dari selatan yang jiarah di kuburku, maka orang itulah yang akan membalaskan kekejaman yang aku terima.” Demikian kata-kata samar terucap dan terus diingat oleh Ki Bangkek.
Beberapa bulan kemudian Ki Bangkek ditemui seorang pemuda yang berkeinginan mau bertapa di bukit Diwon. Laki-laki itu mengaku datang dari selatan, persisnya wilayah tepi Laut Kidul. Pemuda itu mengaku bernama Mas Tompe. Batin Ki Bangek teringat akan pesan Nyai Dlongeh, mungkin pemuda ini yang akan memberikan kepuasan akan ratapan nasib sedih yang menimpa selama ini. Maka betapa gembira hati Ki Bangkek, dendam kepada Tumenggung Kebolandu akan segera terbalas.
Mas Tompe sampai beberapa hari bertapa di bukit Diwon, dan akhirnya pemuda itu berpamitan kepada Ki Bangkek untuk meneruskan perjalanannya. Pemuda itu berjalan ke utara, ya semakin jelas apa yang dipesankan Nyai Dlongeh bahwa orang ini yang akan membalaskan dendamnya kepada Tumenggung Kebolandhu.
Betul memang, Mas Tompe yang akhirnya berkuasa di Pajang. Dan atas niat yang terungkap bahwa Tumenggung Kebolandhu menyusun kekuatan untuk merongrong Pajang maka diberikan hukuman mati. Kabar atas hukuman mati terhadap Tumenggung Kebolandhu sampai pada Ki Bangkek, betapa gembira dan bersyukurnya paman Nyai Dlongeh mendapat kabar itu. Hingga akhir hayat Ki Bangkek tak meninggalkan kawan bukit Diwon, maka daerah itu akhirnya diberi nama kampung Bangkek. (*)

Selasa, 24 Agustus 2010

Sluman-Slumun Slamet

Slamet apadene keslametan dadi underan wigati jroning sadhengah wewengkon panguripan. Kepara ing Jawa bab iki dadi napas sing tansah kumedher ing saben-saben wayah, embuh iku ing laku spiritual, seni, budaya, lan gatra laku apa wae. Ora aneh ing Jawa ana donga slamet, wong jenenge Slamet, piyandele arane Kyai Slamet, lan ingon-ingone wae kawenehi jeneng Si Slamet. Yekti slamet, dadi impen, idham-idhaman lan pucuking panjangka sing tanpa ana wates lan bontose.
Kamangka ing kasunyatane urip datan mangkono kang lumaku. Ing panguripan iki sarwa kawengku ing loro kodrat kang tansah lumaku kosokbalen, sing siji tansah kabudi lan siji maneh kasingkiri, yaiku ana padhang ana peteng, ana bungah ana susah, ana begja ana cilaka, ana slamet lan ana apes, mangkono sapiturute. Amarga arane kodrating urip, mesthi wae tan ana sijia kang bisa endha saka kekarone. Kabeh dadi temalining urip kang sarwa ngreka saengga dadi wirama kaendahan siji lan sijine.
Lupute nampa pepadhang bakal nyangkul pepeteng, lupute nampa begja mesthine nyandhang cilaka, lupute slamet bakal nampa apes, mangkono kuwi terus sapiturute. Ewasemana budhal saka panglenggana kasebut, katambah manggon jejering titah, bebrayan Jawa emoh ngono wae ngalah saka araning kodrat. Awit, urip manut pangerten Jawa iku obah. Obah bisa ditegesi ikhtiyar, ing kene ana kapitayan yen mburu pepadhang, begja, bungah, teka keslametan dadi wajibing urip. Nadyan wekasane saben-saben pambudi mau tansah kawungkus klawan kesadharan nrimah mawi pasrah apadene nrima ing pandum.
Pancen tinemu ukuran mligi mungguhe bebrayan Jawa kanggo milahake ing kinaran slamet ing urip. Kanthi cara kang kaprah mbokmanawa kang kaaran slamet yaiku sarwa-sarwi ketemu begja. Sakaliring panjangka kang kawawas dadi tambahing kamulyan bisa karengkuh tanpa ana sambikala. Niskala, nirbaya, nirwikara. Upamane ta kesandhung bebaya, sakabehe bisa kaadhepi lan kaudhari saengga bebaya mau tan kuwawa nyabarake laku. Kawujudan kang mangkene iki mbokmanawa ukuran slamet kang akeh ditegesi ing berayan akeh, kinaran slamet yen ta tan nate kacuwit dening saru-sikuning urip.
Manawa bener mangkono, mbokmanawa slamet iku sawijine kang mokal kelakon. Awit sakaliring kang tumitah mono ora bisa uwal saka kurang, lali, lan apes. Mula pamengkune slamet iku satemene ana ati. Ukuran slamet mring pangerten Jawa bisa katilik saka ujaring para pinter ing kene, dening RMP Sosrokartono katandhesake urip slamet iku linambaran telung ukara, yaiku legawa marang apa kang wis kelakon, trimah marang apa kang dilakoni, lan pasrah marang apa kang bakal kelakon. Nuli teteluning ukara mau kawungkus klawan telung tembung trimah mawi pasrah.
Dene jroning pupuh Gambuh kang tinemu ing Serat Wedhatama yasa Sri Mangkunegara IV kawedharake ; meloking ujar iku, yen wus ilang sumelanging kalbu, amung kandel kumandel marang ing takdir, iku denawas denemut, denmemet yen arsa momot. Katambah ing Wirid Hidayat Jati (RNg. Ronggowarsito) kapratelake yen apesing urip iku sarwa kajalari dening limang tumindak raga (ulah crobo, laku nistha, tingkah degsura, sarwa kesed sungkanan lan lumuh nastapa pujabrata) lan limang tumindak jiwa (ngumbar hawa nepsu, ngumbar suka-renaning karsa, anggelar ambeg angkara, amedhar watak dora paracidra lan anuruti budi pitenah aniaya).
Mangkono slamet kategesi ora banjur urip lurus tanpa sengkala, nanging mapan ing wani mring garising takdir lan ngugemi wewatoning bebener. Istingarah sing kinaran apes, lamun kinunjara was sumelang mring pepesthi sarta ringkih ing bebener. Kanthi kuwawa ngalahake rasa was sumelang ing sadhengah wewengkon urip, gilir-gumantining napas lumaku mardika. Bebas saka sesangganing pikir, adoh saka kunjaraning culika. Iku kang kinaran sluman-slumun slamet . (*)

Ngudi Kuwating Akal lan Pikir

Keri-keri iki akeh sesambat kang keprungu ing bebrayane wong cilik. Prasasat matumpa-tumpa wujuding sesanggan, durung rampung siji wis njedhul liyane. Endi among tani sing gagal panen awit trajange wereng coklat, endi para wongtuwa sing kabotan mbayar waragat sekolah anak, kasambung reregan kang ndedel, malah kompor gas sing kerep mbledhos katon melu nyaur wuwus. “Tobel…tobel…,” mangkono Uwa Kerta tangga tunggal pager keprungu rerantan sambat-sambat.
Sambat. Ngersula. Ngaru lara. Saweneh wujud pratelaning titah kanggo nelakake aboting sesanggan. Nanging sejene kuwi sesambat pancen sithik bisa nipisake wujud sesanggan. Ewasemana yen sabanjure kerep sesambat, istingarah ngringkihake batin. Lamun batin wis ringkih, adhakane pamikir tumuli kewuhan kanggo metungake bener apadene luput. Kang mangkene iki kang wekasan nukulake tumindak nasar.
Kawujudaning tumindak nasar mau tinemu werna-werna, kang dening saperangan bebrayan kaanggep dadi cara sing pungkasan – ora ana liya. Kamangka iku mau thukul saka pamikir sing buntu, pethaning pamikir buntu wis mesthi keladuk wani kurang deduga. Kala-kala tindak nasar bisa gawe rugining dhiri pribadi, lan bisa uga gawe pitunaning liyan.
Kacupeting pikir, akeh bebrayan saiki nganyut tuwuh minangka dalan pungkas. Iki cara sing banget gawe rugi dhiri pribadi. Saperangan ana kang wani nekat, kayata awit kasurung dening pikir puteg lan kaesuk werna-werna kabutuhan sing wis angel diupadi cara pangudhare, terus wani colong jupuk, ngrampog, njarah-rayah lan sapanunggalane. Kang mangkene iki genah cara sing ngembet marang pitunaning liyan.
Salugune ing urip mono ora ana kang luput saka sesanggan. Saka jaman lumaku ing jaman liyane, titah sarwa winengku dening sesanggan. Kang mbedakake amung sebab kang dadekake anane sesanggan mau. Gusti Kang Maha Kawasa, yekti nitahake janma sarwa tingeran akal lan pikiran. Akal lan pikiran kang nglungguhake manungsa minangka kawula kang luwih mulya katimbang titah liyane. Wondene sesanggan sawijine cara kanggo nguji titah sepira kuwanene migunakake akal lan pikiran jroning urip.
Pancen dudu perkara gampang ngemonah sesanggan klawan kekuwatan akal lan pikir. Mula ora aneh amung siji loro kang lulus kanggo bisa migunakake. Jalaran saben-saben akal lan pikir ora kabeh kagladhi, kawulang lan kacoba ngudhari werna-werna sesanggan. Luwih-luwih ing jaman saiki, akal lan pikir prasasat kagawe kethul dening gebyar donya. Tundhone nadyan amung kaesuk dening perkara sepele wae wis akeh sing nglumpruk, manungkul lan kalah, lan saperang tinggal glanggang colong playu.
Nuli kepriye mungguh ngracik akal lan pikir sing kuwat? Wangsulane ana ing tembang Kinanthi kang tinemu ana Serat Wulangreh “padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi, pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.” (*).

Senin, 05 Juli 2010

Wigatine Ngelmu lan Laku

dening : Yan Tohari


ngelmu iku
kalakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara
(Pocung, Serat Wedhatama Yasane Mangkunegara IV)

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Mangkono uga kang wis dadi laku ing sawetara dina kepungkur. Saweneh ada-ada pendadaran kang kaprah sinebut UN (Ujian Nasional), mujudake piranti pangukur mring kasil lan orane pelajar ngrampungake pawiyatan. Pendadaran aran UN kang kuwawa nglairake werna-werna tumindak, saka gorehing kaum pelajar, was-sumelang para wongtuwa nganti teka pihak-pihak kang nggunakake kanggo kauntungan pribadi.
Ujian Nasional kang trep-trepane teka seprene isih ngemu perdondi - antarane pro apadene kontra - pancen katetepake minangka laku ing pangukur pamungkas mungguh kasil orane siswa ngliwati pawiyatan. Saengga saka kawicaksanan kasebut nglairake panyakrabawa yen lakune pawiyatan prasasat manggon klawan angka-angka ing pandadaran pamungkas iku. Istingarah nyurung pambudi entek-entekan para pelajar apadene wongtuwane murih ujian pamungkas bisa kasil utawa lulus. Emane pambudi sing ngono iku asring nglirwakake angger-angger utama, kang ngregeti kaluhurane pawiyatan.
Lamun kita gelem nyemak klawan apa kang nate katuturake Drs. RPM Sosrokartono, tokoh kang uga kawentar minangka kadang sepuhe RA Kartini iki nggarisake mring wigatine laku ing ngelmu. Manut priya kang kacathet minangka wartawan New York Herald iki, yen ing ngelmu kudu cumondhok anane laku. Dene laku iku arupa manembah mring Gusti lan ngabdi mring sesami. Sawijine pangerten kang nengenake kautaman sarta mengku ing kamulyaning liyan, dudu milik gendhong lali.
Tokoh kang uga kawentar kanthi sesebutan Mandhor Klungsu iki miterangake wigatine laku jroning ngelmu ing larikan tembung mangkene ; ngawula dhateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip. Memayu awoning gesang : nyuwita, ngawula, bakti dhateng sesami. Lampah kula tansah anglampahi dados kawulaning sesami, tansah anglampahi dados muriding agesang. Wajib tiyang gesang sinau anglaras batos saha raos.
Priyagung putra Bupati Jepara RM Adipati Ario Sosroningrat lan kang kacathet minangka cendikiawan tamatan Universitas Leiden, Walanda iki luwih tlesih nandhesake yen sejatining laku ing ngelmu kudu wewaton ing bebener. Awit saka kuwi bangku pasinaon dudu siji-sijine tuk sumbering ngelmu. Satemene jroning urip lan panguripan padinan akeh gumelar ngelmu kang tanpa wilangan. Ing sakiwa-tengen kita tinemu ngelmu wigati sing kuwawa mbasuh marang kasampurnaning urip sarta mentesake rasa.
Pratelan iku karacik maneh jroning tembunge; pamulangane sengsarane sesami, sinau ambelani lan ngraosaken susah lan sakitipun sesami. Inggih punika ngraosaken lan nyumerepi : tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa lan tunggalipun asal. Kanthi mangkono sawijine ngelmu datan darbe aji lamun lakune datan memayu hayuning bawana, tresna asih mring sesama. Balik ing kasunyatan saiki, ngelmu kayadene winates ing semu. Dhuwuring pendidikan lan gelar durung bisa dadi ukuran marang ngawula dhateng Gusti lan memayu ayuning urip. Kepara lamat-lamat nuduhake setya budya pangekesing durangkara.
Maragage yen mindeng kanyatan kang lumaku keri iki, terus katandhing klawan apa sing katuduhake tokoh-tokoh duking uni, salah-sijine RMP Sosrokartono, ateges kita mencelat mundur adoh. Jalaran sing lumaku ing wektu iki bebrayan amung winates ngagungake asil, datan ngemonah laku. Angka-angka Ujian Nasional kang dadi ukuran kasil lan orane pawiyatan siji-sijine bab kang kawawas luwih penting. Dene pakarti sing murugake apike angka mau datan kapetung. Embuh culika apa utama, waton lulus iku wis rampung.
Eman ngelmu jaman saiki amung ditengeri klawan angka, dluwang sasuwek utawa embel-embel gelar. Saka ngendi asale angka, dluwang lan gelar? Kanthi kepriye carane mbudidaya? Kala-kala ucul saka pamengku ngabdi mring Gusti lan memayu ayuning sesami. Datan mokal wasis lan pintere, gelar lan kasarjanane asring dadi underaning kanisthan. Kekejemaning para priyagung kang wuru terus nindakake korupsi dudu winates ing urusan weteng, nanging kamurkan lan kasrakahan kang aneh.
Kapinteran sing kaluru kanthi mikolehake sakaliring cara tanpa kaslempitan larasing batos lan raos, angel kadumuk atine nadyan nguningani kasangsarane sesami. Ngendi-endi kawula ketaman bencana, penyakit, nganggur, urip kesarakat, lsp ewasemana ati tetep kepengin malak. Supe marang sing winastan tunggal manungsa, tunggal rasa lan tunggal asal. Urip kawawas urusane aku lan kulawargaku, aku lan sedulurku sarta aku lan golonganku. Malah kalamun wenanga jagad kaya-kaya nedya kakukut kanggo dhirining pribadi. Gumun setaun, jembleng serendheng.
Wekasane pancen ngelmu iki tetep wigati jroning numapaki ombah-mosiking jaman. Awit sakaliring bab kang sesambungan klawan urip lan panguripan kudu kaayati klawan ngelmu. Nanging sabisa-bisa ngelmu ora winates ditegesi pinter, prigel lan kendel, nanging uga winengku marang laku utama, ngabdi mring Gusti uga ngawula mring kawulaning Gusti. Perlu karacik ukuran tumata tumrap kang kaanggep putus ngelmune. Sawijine bangsa bakal rusak lamun winengku klawan wong-wong bodho. Nanging bakal tambah rusak yen winengku wong pinter nanging murka lan srakah. Ngaten!

Witing Tresna Jalaran Saka Kulina

Yan Tohari (Sanggar Pari Sawuli – Karangdowo, Klaten)


Saweneh kanca wanita teka klawan gembol pitakon, “Geneya awakku dadi kasengsem klawan dheweke?” Durung nganti penulis paweh tanggapan, dheweke takon maneh,”Apa bener iki sing diarani witing tresna jalaran saka kulina?” Yah, pitakon sing keri iki pancen wiwit suwe lan teka seprene pantes dadi rembug. Waiting tresnen jalaran saking kulinten - , mangkono budayawan Darmanta Yatman asring ngandhakake - pancen asring nuduhake kekuwatan, lamun unen-unen Jawa iku dudu ngayawara.
Amung emane unen-unen kasebut dening sawetara pihak ditegesi klawan werdi kang banget rupak. Kadidene kancane penulis ing ndhuwur, witing tresna jalaran saka kulina asring diraketake klawan crita tresna antarane priya lan wanita. Kamangka kulina utawa tumindak kang mawola-wali katindakake kanthi ajeg (pakulinan), iku bakal nuwuhake tresna ing apa wae. Datan ngemungake perkara asmara.
Ora aneh para pinter Barat nyebutake lamun satemene pribadi kita iki tuwuh utawa cures kadayan saka apa kang dadi pakulinane. Embuh salah embuh bener, waton dadi pakulinan bakal katresnani lan kuwawa maujud dadi ciri-wanci (karakter), utawa budaya tumrap saweneh kaum/bangsa. Budaya positif (utama), ngemu panduga bakal jaya. Kosokbaline budaya negative (ala), paweh kalodhangan kanggo sirna.
Budhal anane panemu iki becik kita nlesih maneh klawan apa sing dadi pakulinan kita, munggahe mring budaya bangsa iki. Apa kulina males, mesthi dadi pribadi kang lumuh. Apa kulina nabung mesthi dadi pribadi kang sugih, apa kulina apus-apus mesthi wae dadi pribadi kang julig, apa kulina saru mesthi dadi pribadi lekoh? Apa kulina sinau mesthi dadi wasis, apa kulina gegladhen mesthi bakal dadi trampil?
Umume pakulinan ala luwih gampang lan karasa nikmat ing wiwitane kanggo katindakake, katimbang saweneh pakulinan becik. Nanging kekarone yen katindakake, padha-padha bisa nuwuhake rasa tresna utawa nggathok. Salaras klawan wujud tindake, ing undhuh-undhuhane uga bakal tinemu loro kanyatan. Kulina becik tuwuh becik lan kulina ala bakal tuwuh ala. Bab kang wis dadi pakulinan, merlokake kuwanen sarta kekuwatan luwih kanggo ngowahi. Luwih-luwih yen pakulinan iku ing kaalan.
Jumbuh klawan unen-unen ing ndhuwur, samesthine kita gegulang klawan pribadi kita mring pakulinan utama. Awit pakulinan utama sing kuwawa nuduhake kaluhuran jejere manungsa. Saben-saben pribadi bakal darbe rega lamun bisa nuduhake kadarben kang utama. Dene kadarben sing ala amung selot ngringkihake ajine manungsa iku dhewe. Korup, saru, ngamuk, julig, rakus, lan sapanunggalane, ngatonake ing pribadi mau wis tan metungake maneh ing sipating janma. (*)

Minggu, 06 Juni 2010

Cerkak : KOTANG

dening : Yan Tohari

“Kandhakna, yen aku wis ora tresna maneh karo kowe, Nur. Ngono Kang, kandakna!” isih esuk, nanging swara iku sasat mercon kobong kemrotok saka lambene Menur. Wong wadon iku katon ngame-ame sing lanang, Surasa. Dene sing lanang kang karepe ngetokake becak amung meneng sarta bingung klawan apa kang katindakake bojone. Embuh marga apa, yen dhuwit etuk-etukane wingi sore sing mulih nggawa dhuwit limolas ewu thok wis dipasrahake kabeh. Embuh setan gundhul ngendi sing manjing ing bun-bunane Menur, weruh-weruh kok ngamuk punggung sura tan taha.
“Hayo, cepet Kang. Ora mung lingak-linguk api-api ora ngerti!” Menur katon tambah muntab awit datan katanduki klawan sing lanang.
“Kowe kuwi ana apa ta Nur?” Surasa selot bingung.
“Ana apa-ana apa! Api-api ora ngerti, apa pancen kumbi? Wong lanang bejat!”
“Aku pancen ora ngerti tenan, Nur. Ana apa iki?”
“Ora ngerti? Wong lanang cluthak! Wis mlarat kakehan tingkah,” mripate Menur pendirangan, selot muluk bramantyane. Saiki ora mung swara kang jumbedher nanging tangane uga wiwit ngamuk, abrak-abrak sing kacandhak disaut, dibanting, kauncalake menyang njaba. Ompreng kabanting, piring kasaut dikeplekake, sumyur dadi sawalang-walang. Esuk iku, esuk kang aneh ing gang Prenjak, gange para tukang becak ing kutha iki. Kahanan kuwi dadekake para tangga teparone padha nyawang klawan panyawang aneh. Aneh, nyata-nyata aneh.
Pancen padu, rebut etung lan gegeran liyane dadi rerenggan mligi ing gang iku. Werna-werna sebabe, embuh dhuwit sing kurang, kalah main, mendem, apa merga konangan anggone dhemenan, lan liya-liyane. Nanging apa kang dumadi ing kulawargane Menur lan Surasa pancen kaanggep aneh. Menur, wong wadon sing luwih patang taun iki ngrenggani uripe Surasa kawawas wong wadon kang kondhang meneng. Dheweke ora kaya wong wadon liyane sing tansah ngomong kurang, nadyan dhuwit sapira-pira diwenehake sing lanang. Menur wanita kang nrima ing pandum, sajake dheweke nglenggana Surasa kang amung tukang becak pancen hasile sarwa tipis. Karo maneh becak harak wis wiwit kaanggep nyebeli ing sawetara kutha-kutha gedhe, untung wae ing kutha iki tetep nganggep becak isih patut ana.
Ewasemana esuk iku, Menur katon dudu kaya biyasane. Wong wadon iku ilang sipat menenge malih dadi landhep lan galak. Embuh kadayan saka apa. Nanging mesthi iki saweneh bab kang paling gawe atine serik. Ewasemana Surasa ora paham marang apa sebabe. Semono uga tanga-tanggane ngrasakake aneh klawan lageyane Menur.
“Ana apa ta Menur kuwi?” pitakone Yu Jati klawan Warinah.
“Embuh, mbokmanawa Surasa kalah main,” sambunge Warinah.
“Wong wis kalah kok dadak nesu,” Yu Trinah melu nyaut.
“Ning aneh, lho. Ora tau-taune Menur tumindak ngono,” Yu Jati pratela.
“Ya, sapa ngerti Surasa duwe dhemenan,” Warinah nyambung maneh.
Mangkono kaelokan ing omahe Surasa esuk iku padha dadi rembug. Nanging Menur datan mendha, saiki wis meh kabeh isen-isene pawon padha mencelat ana njaba. Ompreng, wajan, kendhil lan ember-ember katon pating blesah ngebaki gang kang pancen wis ciut lan rupak iku.
“Eling, eling Nur, kowe kuwi ana apa. Ana perkara ya dirembug aja mung terus ngamuk ngono kuwi,” Surasa sajak ngarih-arih bojone. Nanging Menur kang krungu tembunge Surasa iku malah kepara kaluwih-luwih pangamuke. Sawuse marem bisa ngowat-awut isining pawon, saiki Menur bali mlayu ing njeron ngomah. Saiba kagete Surasa bareng metu ing tangane bojone wis gegem kenceng lading kang kulina kanggo iris-iris ana pawon. Mripate Menur abang angatirah, prasasat mripate Bethari Durga kang lagi kalab lan kobar atine.
“Saiki ngaku ora kowe, wong edan,” tembunge Menur klawan ngrangsang awake Surasa. Tujune Surasa pinter ngendhani lan murih ora kedawa-dawa bratayuda esuk kuwi, Surasa tumuli nyengklak becake lan nggeblas. Menur amung bisa mencak-mecak nalika meruhi Surasa wis ilang ing enggokan gang lan tumuju dalan gedhe.
Srengenge wis katon dhuwur, panase wis krasa sumelet. Sadawaning dalan pating sumliwer kendharaan oyak-oyakan ninggalake lebu kang kasaut angin terus sumebar ing akasa, kang wekasane tumiba ing pucuk-pucuk suket. Siji loro pemulung wis katon nlusur sauruting dalan klawan kranjang ing gegere. Jangkahe katon kaseret klawan pandeleng landhep,mbokmanawa ana barang kang bisa dijupuk kanggo ngiseni kranjange lan ateges dina kuwi entuk-entukane mentes.
Dene Surasa terus nggenjot becake nurut dalan sing kulina dadi areal makaryane. Atine isih geter campur getir nanduki lelakon sing nembe wae tumama ing uripe dina iku. Salawase urip bebrayan karo Menur lagi iki Surasa ngrasakake yen wong wadon kuwi ngetokake pangeram-eram. Banjur apa sebabe? Iki kang teka iki dadekake Surasa tetep bingung. Bingung setaun jembleng sarendheng. Ana underan apa geneya bojone bisa munclak kanepson prasasat kaya ngeleg-elega jagad. Katlusur mbokmanawa ana kang salah tumrap dheweke, nanging tetep wae Surasa ora kuwawa mbuka.
Sawuse ngliwati prapatan ing penere dalan kang rada lindhuk Surasa ngerim becake. Kepeneran ing sisih tengen dalan ana wit-witan kang edhum, Surasa kepengin lungguhan ana ngisor wit kono pisan nggawe ngarihake napas lan nentremake ati. Becake kainggirake sabanjure medhun lan nentremake ati ana pener ngisor wit trembesi. Angin alus ngobahake gegodhongan sarwa nyisakake hawa silir ing awak, Surasa nyoba unjal ambegan landhung kanggo nguncalake seseging dhadha. Ewasemana tetep ngalela ana tlapukane mripat tumrap tumindake bojone sing katon kliwat wates dina iki.
Rasa nggrantes tan kocapa rumambat ing padoning rasa. Ora krasa ana luh kumembeng ing mripate, nanging sarosane priya kanthi pawakan cilik iki budi, luh iku aja nganti tumetes. Panyawange kepara kabuncang ing awang-awang, katon ana manuk sriti kekejeran nantang sumiyuting angin, mardika, kumeplas ing jagad jembar, tanpa sanggan tanpa panandhang. Ing kene tuwuh panglenggana kang landhep ngiris atine Surasa. Trawang-trawang ngalela ing angen-angene tumrap kahanan uripe sing teka iki isih katindhih ing werna-werna perkara.
Embuh wiwit rekasa kanggo nyukupi kabutuhan padinan, nyukupi sandhang lan pangane anak loro lan bojone, wragat sekolah, kalumrahan, lan kala-kala pepenginan kang ora kena diampah beteke emoh kalah klawan kiwa tengene. Pancen, rerangken kabutuhan sing katone sepele kuwi wae ing pundhake Surasa wis krasa abot, abot temanan. Kuwi wae direwangi awan bengi kudu ngliyeg kanthi becake, kathik wani telat mbayar setoran sewa becak, utang kana utang kene, lan sawernaning kupiya liyane kang nuduhake pambudi kang sarwa rumpil. Tan karasa panggagas iku nuwuhake sagunung rasa dosa, yen jejere wong lanang tan kuwawa mulyakake kulawarga.
“He Surasa, ngapa kowe nyengkruk ana kono?” saweneh swara keprungu sora nratas angen-angene Surasa kang lagi ndedel muluk. Sakala wong lanang iku njola.
“Ngapa kowe thelah-theloh ana kene?” Pardiman kanca mbecake iku nyedhak ing sangisor wit trembesi lan ngambali pitakone.
Surasa ora age-age wangsulan, atine isih getir dening swarane Pardiman kang tanpa sraba-sraba munggel lamunane.
“Ngapa Kang, awakku lagi ora penak,” wangsulane Surasa sakenane.
“Ora, ngono lho. Kowe mau ditakonake karo Si Sarnem, sajak ana kecan apa piye?” Pardiman mesem sajak nggembol rasa cubriya.
“O, nggagas urip wae repot Kang, kok wani-wanine mikir Sarnem.”
“Lho, aja ngono Sa, urip iki wis rekasa, aja mbokpikir kanthi rekasa. Mula kudu ana hiburane. Aja ndlujur, ha…ha…,” Pardiman sing kulina ceplas-ceplos nanduki Surasa klawan ngguyu ngakak.
“Banjur ana apa ta Kang, Sarnem kok nggoleki aku?”
“Lho…. Lha, kowe ta kudune sing luwih ngerti. Isih duwe utang ra?”
“Yen kurangan ya duwe, wong lagi wingi kok wis ditagih, iki wae durung oleh angkatan, sing nggo mbayar apa? Dhengkul?” Surasa ora bisa ngampah rasa mangkel.
“Perkara sabenere aku ya ora ngerti, Sa. Pokok Sarnem meling yen kepethuk kowe, kowe ndang kon mrana,” kandhane Pardiman sajak serius.
Atine Surasa tambah kemetir, gek ana apa iki. Sarnem, randha kang marung pecel iku meling-melingake dheweke. Rumangsane dheweke ora duwe urusan, nanging nadyanta mangkono ora tau-taune wong wadon randha sing kojahe gampang digodha kanca-kancane tukang becak kuwi melingake dheweke. Mesthi iki ana perkara wigati, mangkono batine Surasa kandha. Nanging banjur apa? Kumudu-kudu Surasa jumangkah murih enggal tinarbuka ana lelakon apa maneh ing dina iku. Agahan Surasa menyat saka lungguhane lan nggeblas nuju warunge Sarnem.
Nalika tekan kang katuju, kapinujon kahanan warung rada sepi.
“Ana apa Nem, kok kandhane Kang Pardiman awakmu melingake aku?” ora sranta sawuse lungguh ana lincak Surasa enggal pitakon.
Sarnem ora enggal wangsulan kepara randha kang isih nyisakake praupan kang manis iku mesem kebak teges. Atine Surasa tambah trataban.
“Age Nem kandhakna,” Surasa tambah ora karuwan.
Isih kabuntel esem sarta polatan kang aneh, Sarnem tumuli aweh wangsulan.
“Nanging sepurane dhisik ya Kang, iki duwekmu ta?” kandha ngono Sarnem klawan nuduhake andhuk cilik kanggo lap kringet darbeke Surasa.
“Iya, ning wingi ketoke wis daksaki lan dakgawa bali, ki,” Surasa nanggapi.
“Dudu iki sing mboksaki Kang, mbokmanawa kesusu ana pemehan kono kowe salah nyaut,” Sarnem katon rada klincutan.
“Banjur apa sing dakgawa bali wingi, nganti saiki isih ana sak kathok sijine, iki mau aku kesusu budhale je?” Surasa nlesih klawan sathekruk rasa bingung.
“Kutangku, Kang,” wangsulane Sarnem lirih nanging ing kupinge Surasa kadya gelap mangsa kesanga. Raine Surasa abang branang, mergo keslomot rasa isin.
Bebarengan kuwi kaya tinarbuka geneya bojone esuk mau nesu jaja bang winga-winga. Enggal wae Surasa nyandhak becake lan sarosane nggenjot bali kanggo paweh katrangan klawan Menur. Playune becak terus digelak prasasat kaya lagi diuyak Pak Kartiko, priyayi sugih juragan becak kang kerep nagih setorane. Datan sranta nalika teka dalan cilik mlebu pekarangan omahe Surasa anjlog saka becake lan terus mblandhang mlebu ngomah.
“Nur, Menur….!,” Surasa bengok-bengok.
Nanging njeron ngomah sepi, ora ana wangsulan. Surasa mlebu kamar uga suwung, njujug pawon uga ora ana. Nanduki kahanan iku atine Surasa ketir-ketir, semparet Surasa mlayu menyang mburi. Ing mburi omah uga sepi. Meruhi bojone ora enggal ditemokake, atine Surasa selot katumpukan rasa cubriya. Ana pikiran-pikiran ala kang gumandhul ing angen-angene. Nanging bareng bali menyang ngarep ing kene Surasa digawe kaget klawan sesawangan ing tengah jogan.
Ing tengah jogan ana lading kang gumlethak, lading iku kang esuk mau kagunakake Menur kanggo ngancam awake. Sasisihe lading katon rajoh-rajeh ana barang kang nyubriyani. Surasa nyedhaki, bubar katamatake ora liya kotang. Iya mbokmanawa iki kang dadi panase Menur. Iya barang sepele iki sing dadi underan anane bratayuda ing omahe. Surasa dadi angluh, awake kaya dilolosi. Panyawange rumambat ing nglatar, katon barang-barang kang pating blasah, pating blesar, dadi sara-ara. Geneya barang sepele iku bisa dadi gawe? Batine Surasa pitakon klawan ati thenger-thenger.

Senin, 31 Mei 2010

KAWRUH : NGAMBAH MANISING SIH TRESNA

Rasa sing wis banget ketriwal ing pangrasane bebrayan saiki – luwih-luwih baraya agung ing perkotaan yaiku manising rasa sih tresna. Rasa sih tresna, kang satuhune mujudake mutyara jroning urip, yekti minangka bab kang tan bisa kaselaki kuwawa dadi werna, greget, memanis, sarta ukuran ing ciri pribadining manungsa.
Pangersula ing sakaliring kahanan embuh iku akehe tumindak nasar, wengis, julig, goroh lan sapanunggalane, iku kasebab awit ringkih sarta tipising rasa sih tresna. Istingarah wigati wiwit iki perlu ananing pambudi kanggo nirih ati amrih ngambah marang manising sih tresna. Saengga urip karengga manis lan sih tresna dadi werna ing pasrawungan.
Saweneh laku kang kaprah kanggo ngambah ing manising sih tresna manut kapitayan Jawa kasembuh awit bab kang runtut, ajeg lan lumadi. Tindak iki bisa kinaran laku sing kulina utawa pakulinan. Witing tresna jalaran saka kulina, unen-unen iki ora mung wis ngoyot nanging uga temanja buktine. Awit saka kulina bisa dadi tresna, seneng lan karem
Pakulinan kasebut ing ngarep minangka wujud tumindak kang ukurane mesthi yaiku runtut, ajeg lan lumadi. Laku mring apa wae asring thukul saka rerangkene tumindak iku, kang dening wong Jawa sinebut pakulinan, temahan nukulake tresna. Kabecikan iku tuwuh saka pakulinan, kosokbaline bab ala uga mekar saka anane pakulinan. Sugih lan mlarat, bisa lan ora bisa, kabeh winangun saka ajine pakulinan.
Rasa sih tresna kang tipis lan kasisih ing perangan atine bebrayan saiki, awit uga saka pakulinan kang datan maelu rasa kasebut. Embuh kadayan dening laku jaman utawa owah-owahan liyane saengga rasa sih tresna datan kakemonah kanthi becik.
Saben-saben pribadi amung migatekake awake dhewe. Sithik kanggo maelu ing liyan. Kepara sing tambah-matambah ing sadina-dina yaiku rasa anggunggung dhiri, golek menange dhewe, murka lan daksia. Sing kacethik ing pikir prasasat piye bisa angemperana jagad. Kabeh darbekku, manut aku lan panguwasaku. Eman.
Sikep kang kaya mangkono iku umrik ing ati sithik mbaka sithik, ing wekasane dadi gedhe lan sabanjure nguwasani kabeh wewengkoning pikir. Yen mangkono iku temah ati datan kuwawa bedakake maneh endi kang nurut garis kautaman apadene kang nyebal saka paugeran bebener. Mula bab kang perlu kaperdi mring kupiya ngambah wewengkon manising tresna, yaiku ngajak ati supaya kulina ngajeni kagunaning liyan. Urip minangka titah ing jagad raya iki padha ing sasamining urip, sakabehe butuh kaajenan, kaasihi lan kaanggep ngerti.
Minangka pepakeming laku kasebut kita bisa nyianu klawan tembang Gambuh ing serat Wedharaga anggitane R. Ng. Ranggawarsita ; lamun wus sarwa putus, kapinteran sinempen ing pungkur, bodhonira katokna ing ngarsa yekti, gampang traping tindak tanduk, amawas pambeking wong.
Ing pitutur kasebut kaajab ing saben pribadi nadyan pinter aja keladuk nuduhake pinter, kepara api-api bodho. Sikep kang mangkene iki luwih jenak disenengi liyan brayan, tegese bakal dadi tuk sumbering sih tresna, katimbang yen kosok-baline. Ngerti nanging api-api bodho iku luwih gampang ing trep-trepaning tumindak, katimbang bodho api-api pinter, utawa pinter nanging keminter. Awit manut R. Ng. Ranggawarsita jroning pasrawungan mono ing saben-saben pribadi kepengin kaajeni, mula sabisa kita paham klawan drajating saben-saben pribadi, amawas pambeking wong.
Manut Les Giblin pakar hubungan masarakat lan penulis buku kondhang The Art Of Dealing With People uga nate nandhesake lamun kanggo mbangun swasana sih tresna ing pasrawungan bebrayan iku tinemu ana papat, yaiku nglengganani yen (1) manungsa iku kabeh egois, (2) luwih kesengsem klawan pribadine dhewe katimbang wong liya, (3) saben wong kepengin kanggep penting, lan (4) saben wong kepengin wong liya tansah sarujuk klawan panemune. Panglengganan ing papat bab kasebut kaajab bisaa nglairake sikep yen ing siji lan sijine prayoga tansah ajen ing ngajenan. Tinemu pangerten yen saben-saben wong darbe pambek, lan iku perlu kakurmati, dudu karemehake. Tan ngendhak gunaning janmi.
Saiba ngujiwat ing pasrawungan lamun saben-saben pribadi ngrembaka subur panglenggana yen ing liyan iku uga wigati anane. Saengga bakal terwaca maneh pamikir Jawa duking uni sing nandhesake aja njiwit yen ora gelem dijiwit, aja gawe pituna yen ora gelem digawe tuna, aja ngereh yen ora gelem direh, lsp. Sasela-selaning pasrawungan tumuli karacik pangudi mad-sinamadan, ora ana ganggu ginanggu, awit kabeh winungkus manis sih tresna.
Saka manis tresna iku wong liya kadidene awake dhewe. Lamun badan iki perlu kaajeni mangkono uga wong liya, yen badan iki sengsem kaasihi mangkono uga wong liya, lan yen badan iki bombong kaanggep penting mangkono uga wong liya, lsp. Sumilake pamawas iki mesthi wae anjurung laku pasrawungan bakal adoh saka laku dursila. Swasana urip katon endah lan nengsemake. Prayoga kaantu, kapan kita bisa mbalekake keblasuking pribadi iki temah kuwawa bali maneh ngambah mring wewengkon tresna. Temah urip bali ngukir samodra kaendahan. Sumangga. (*)

Cerkak : KABUNCANG ALANG-ALANG

Ing kamar remeng nalika wengi dungkap gagat bangun, Rianto isih sineret ing alam impene. Priya umur patangpuluhan iki tetep kanton gantheng, nadyan wis anak-anak loro. Pidegsa. Daksawang landhep pasuryane kang katempuh lampu kamar, kebak wibawa. Saiba bombong wanita lamun winengku dheweke. Berngos tipis, lambe katon resik lan alise kandel. Mangkono isih katambah karier ing perusahaan, wanita endi sing ora kepencut. Kalebu aku, nadyan dheweke wis ora ijen maneh.
Wiwit sore mau aku lan dheweke ketemu ana kamar iki. Embuh kanthi alesan apa dheweke ninggalake kulawarga, ninggalake Winanti bojone, lan anake loro. Mesthi wae kaya padat saben, meeting, ketemu kanca bisnis, utawa tugas njaban kutha. Sawijine alesan lawas kang wola-wali kaucapake. Emane, Winanti kok ya ora cubriya. Dheweke katon manut wae klawan Rianto. Ketang anggone bekti, ngalah utawa mangsabodho? Mesthi wae sikepe Winanti iku tegese nguntungake aku. Aku bebas, bisa nempil apa kang kadarbeni priya kang saiki tundhuk ing panguwasaku iku.
Nyawang brengos tipis kang ngrenggani lambene kang resik iku aku dadi kelingan patang sasi kepungkur, nalika aku tepung klawan dheweke ing saweneh patemon perusahaan. Sepisan nyawang Rianto aku kesengsem klawan penampilane, kang katon resik, perlente lan nuduhake sawijine pribadi kang pinter. Aku mikir ing wektu semana dheweke isih ijen. Mula nganti sawetara lan ambal-ambalan aku migatekake dheweke. Aku kentir ing rasa kepranan kang datan pepindhan.
Jebul ora nyana dheweke ngerti lamun wis narik kawigatenku. Saka patepungan nuli ngadani acara mangan awan bareng, wusana aku dadi selot akrab. Kepara ngliwati wates akrab. Rasa kang raket mau tumuli dadi rakitan tresna peteng, saengga saiki. Sepisanan aku ngerti yen dheweke wis kulawarga aku pancen gela, gela banget. Malah nganti sawetara dina aku tansah nolak nalika kaajak metu bareng. Terus terang wae aku emoh yen kudu ngrusak pager ayu, mundhes turus ijo. Ngrebut kang wis sah dadi darbeking liyan.
Nanging kekuwatan kang mangkono iku banget ringkih tumrap aku sing ing mulane pancen wis kapirangu klawan Rianto. Sarosane ati iki dakcandhet aja nganti tresna iku ngrembaka. Nanging selot rosa dakampah rasa kapang iku tambah kuwat, tambah kuwat nancang atiku. Ora ngertia rasa kang mangkono iku kadarbeni uga dening Rianto. Menyang endi wae aku endha, kaya-kaya dheweke darbe pangganda temah aku datan darbe kekuwatan angoncati.
“Apa kowe ora rumangsa salah, culika klawan Winanti, Tok?” pitakonku nalika aku lan dheweke mangan bareng ing kawasan Malioboro.
“Tresna iku dudu ukum, Rit,” mangkono wangsulane cekak. “Dadi dudu papane salah utawa bener. Tresna iku mardika tuwuh ing saben ati. Dudu tuwa utawa mudha, sugih utawa mlarat, pangkat apa sudra, kalebu sing wis kulawarga apadene isih ijen,” pratelane melankolis rosa ngruntuhake ati.
“Bener, tresna iku dudu papane luput lan bener, nanging yen wong iku wis kulawarga harak nerak marang pranatan ta? Ateges iku nyalahi bebener?”
“Tresna iku ibarate wong mendem Rita, endi ana wong mendem isih metungake bener lan luput,” Rianto isih selak, klawan njenggit irungku.
Mangkono kaelokane lakon tresnaku klawan Rianto. Pancen aku klawan dheweke kadidene wis ngombe banyu lapen pirang-pirang sloki. Aku lan dheweke wis mendem jero. Jejering kenya kang duwe praupan kang ora nguciwakake, dudu ateges aku durung nate kasmaran utawa sambung tresna klawan priya. Malah nalika gathuk klawan Rianto, udakara lagi sewulan aku putus cinta klawan kanca kantor. Embuh, nalika kepethuk priya iki atiku gampang kegiwang nadyan lagi sewulan pinggeting ati durung ilang sawutuhe. Rianto pancen priya ajaib.
Yen katlesih landhung dhadha iki katlikung rasa bingung. Banjur kaya ngapa rupane tresna, apa pindha Merapi klawan Merbabu, sing wong datan ngerti kapan gathuke lan kapan pisahe. Apa kaya ilining Kali Code sing terus gumlindhing datan ana pedhote, apa kaya ngilak-ilake Parangtritis, endah ngelam-elami, nanging datan kanyana bisa wae kejem saengga nyeret sapa wae? O,…jagad-jagad.
Angka jam nuduhake lima punjul seprapat, dakcoba aku nggugah Rianto sing tetep isih nggleses. Mesthi wae mau bengi kekeselen lan nganti lingsir lagi turu. Bengi mau pancen kadidene bengi-bengi sadurunge aku sakloron kaya kabuncang ing alang-alang, nlasak laladan endah lan ngambara ing akasa tanpa wates. Methiki mawar-mawar kang abyor ngrenggani watesing gisik. Aku lelangen ing samodraning manis, kang ngelami-elami.
“Rita…, “ katon gragapan Rianto menyat saka peturon. “Jam pira?” pitakone.
“Wis padhang, kowe pengin bali dhisik apa langsung nyang kantor?”
“Aku pengin bali,” wangsulane klawan jumangkah nuju kamar mandi.
Sawuse reresik nuli aku menyat saka papan kono. Bandhang kanthi mobil lan ing sawijine papan aku mundhun. Dene Rianto nggeblas kaya ilang kasaput esuk kang isih kinepung pedhut.
***
Kaya padatan ing saben mulih saka kantor aku golek oleh-oleh kanggo ibu kang ana ngomah. Darbe wongtuwa kang kari ijen ana ngomah, mesthi wae aku kepengin gawe seneng atine. Saben budhal kantor aku tansah matur mungguh apa sing dikarepake. Dene esuk mau ibu kandha yen kepengin dhahar jeruk mandarin, sajane kepengin dingendikakake nalika sore. Jalaran aku kandha lembur, mula ing esuk mau nedhenge aku pamitan pepengine lagi dingendikakake marang aku.
Mancik ing mall, wanci wis punjul saka setengah lima sore. Age-age aku jumangkah lan kang daktuju datan liya papan digelare woh-wohan. Ing tengah-tengahe aku kepengin nyandhak lan milih jeruk mandarin saklebatan ana wanita kang cukup daktepungi pasuryane. Wanita kuwi nggendhong lan nggandheng bocah lumaku ora adoh saka anggonku ngadeg. Bareng dakwaspadakake jebul tenan, dheweke Winanti bojone Rianto. Geneya sore ngene dheweke ana kene, banjur karo sapa lan perlune apa?
Satemene ora let suwe nalika aku kecanthol klawan Rianto, aku wis ngerti marang pasuryane Winanti. Nanging amung ing hp-ne Rianto, kalebu uga klawan anak-anake. Embuh kadayan saka apa ana rasa cubriya kang nggodha atiku, dene sabanjure rasa mau nyurung karepku kanggo ngetutake dheweke. Aku kepengin ngerti apa sing katindakake ing mall iki. Mula rewa-rewa aku uga nyadhak klawan apa sing dicedhaki wanita iku, aku masang kuping kanggo nggatekake.
“Ibu iki lho susune adhik,” mangkono anake lanang kang digandeng kandha.
“O, iya. Niki susune adhik. Makasih ya Kak Rio,” mangkono sambunge Winanti marang anake kebak rasa sih. Atiku katleseban trenyuh nyawang kahanan iku.
“Ibu mbok Kak Rio ditumbasaken mobil baru, ta,” maneh anake sing jenenge Rio katon ngrenging njaluk dolanan.
“Lho-lho, boten saiki ta, sesuk yen Bapak wis kondur,” Winanti nyarehake.
“Bapak kok suwi boten kondur ta, Bu?”
“Bapak harak tugas adoh, keluar kota,” pananggape Winanti sareh.
Aku datan kuwawa ngampet esem nalika krungu tembunge Winanti. Edan, mesthi iku kang dikandhakake Rianto kanggo lungan karo aku. Kanggo sawetara aku rada ngadoh murih ora nuwuhake rasa cubriya tumrap Winanti. Luwih seprapat jam aku nginthil marang Winanti sarta anak-anake. Wektu saiki dheweke tumuju papan, kang ing kono tinata werna-werna woh-wohan. Kepeneran sisan golek jeruk mandarin kanggo ibu aku tetep bisa nginthil Winanti.
“Bu ajeng mundhut apel ta, kagem Bapak?” mangkono anake sing jenenge Rio kang umure udakara telung taunan luwih iku katon lucu lan nggemesake.
“Betul, Bapak harak mangke sore kondur,” Winanti nanggapi sinambi milih apel abang ing keranjang.
“Hore…, adhik, adhik mengko sore Bapak kondur, lho. Cihui…, Kak Rio bisa beli mobil baru lagi,” bocah mau banget gembira, lunjak-lunjak kesenengen nampa kabar yen bapake bakal bali.
Ndeleng kahanan iki atiku trataban, saiba kulawargane Rianto banget ngluhurake dheweke. Bojone apadene anake pisan. Katon ing solah-lakune, sorot mripate lan tembung-tembunge banget nresnani Rianto sawutuhe. Tresna tulus, kurmat lan ngreka priya mau minangka perangan kabagyan kang tansah diarep-arep tekane. Kamangka sisip saka pandulune, yen Rianto iku datan kuwawa nimbangi apa kang sarwa tulus mau. Kosokbaline malah sarwa blenjani. Atiku selot kumedhap ngrasakake iku. Dumadakan ana rasa perih kang nggaris dhadha. Landhep tumus tumekeng telenging rasa.
Ing sabanjure aku dadi miris kanggo terus ndeleng kahanan ing ngarepku, Winanti klawan anak-anake. Kaya ana panah sewu mawali-wali tumanduk ing dhadha. Age-age aku njupuk jeruk mandarin saperlune lan kepengin terus nggeblas. Nanging lagi wae aku bakal jumangkah tumuju kasir, dumadakan tanganku ana sing njawil. Aku njola. Trataban. Sakeplasan aku noleh kanggo ngerteni sapa kang nyandhet lakuku. Bubar aku noleh, aduh… jebul anake Winanti. Sawetara aku datan bisa kumecap. Ana apa bocah iki? Atiku kumesar.
“Tante, jeruke dhawah,” kandhane polos kanthi panyawang bening resik.
“Maturnuwun, cah bagus,” sakuwate aku nyoba sareh, nuli kanthi rasa trenyuh lan ati isih trataban aku nampa jeruk kang diulungake. Satleraman aku nyawang Winanti kang nggejejer ing kadohan, dheweke katon mesem. Aku nyoba nanggapi, nanging esem kang banget suci mau kadidene warastra sing kumeplas nunjem dhadha. Rikat aku jumangkah lan sacepete enggal nglungani mall iki.
Wengi sansaya tumlawung ing palung samun. Nanging mripat iki angel kanggo dieremake. Gawang-gawang ngalela kadadeyan ing mall sore mau. Saiba aku dadi perangan sing banget kejem tumrap Winanti lan anak-anake. Rianto sawijine pribadi kang nyata dadi perangan kabagyane kanthi sesingidan dakrampas, dakpundhes lan dakculikani. Aku mbayangake, saupama aku sing dadi Winanti, saiba perih kahanan jroning ati iki. Saiba lara ati iki. Saweneh katulusan amung didoli kanthi culika….. Kejem, kejem tenan !
“Sepurane Tok, aku wis tan kuwasa nerusake crita peteng tresna kita. Tulung, iki tembung tulus sing ora kena dianyang maneh,” ukara iki kang sarosane daktulis kanggo sms Rianto. Wusana hp dakpateni. Wengi terus mbandhang ing sepi. Ana saglugut rasa lega kang ngrenggani dhadha, prasasat uwal saka boboting rasa salah. Nanging mripat iki tetep kembeng-kembeng, katon wewayangane Rianto lamat-lamat kang sabanjure ilang saka panduluku.

Jumat, 16 April 2010

cerkak : TUMURUHE BUN ESUK

Ya ing kene, ing warung sing isih prasaja iki. Warung kang tinemu ing ngarep sekolahan kang limang taun kepungkur nate dadi kenangan jroning lembar uripku. Wektu limang taun dadi wanci kang tan mingsra, jalaran ora akeh ngowahi apa wae ing warung iku. Ewasemana wektu semono kuwi tetela kuwawa nilasake mawarna-warna lakon kang ngrenggani uripku. Wektu kang wus nyiptakake owah-owahan sing akeh, matumpuk-tumpuk. Neka-neka lan sing banget nyekethem rasa.
“Kowe tetep bakal ninggal kutha iki kanggo nguyak gelar dhokter iku, Rul?” pitakone Endita marang aku sabubare acara perpisahan sekolahan limang taun kepungkur.
“Kuwi pancen wis dakrancang suwe, End,” aku manthuk manteb.
“Tetep Jakarta?” mripat endah kuwi kabuncang adoh.
“Njur ngendi maneh? Ngiras pantes aku nedya ngerteni satemene apa sing narik ing kutha iku, katimbang Solo sing ngene-ngene terus.”
Wangsulan iku kang kuwawa nggarit pasuryane Endita kaya kasiram labor abang. Aku ngerti mrentul rasa sujana kang sagunung gedhene. Aku ngerti niyatku iki prasasat kasedhihan tumrap dheweke. Lan aku ngerti amarga dheweke ora mungkin ninggal kutha budaya iki temah ora ngrilani awakku nerusake kuliah ana Jakarta.
Limang taun kepungkur, ing warung sega rames iku aku bisa paweh alesan temah Endita ikhlas nampa aku tumuju Jakarta. Aku nguyak cita-cita kang suwe katandur ing angenku dening wongtuwaku. Wektu limang taun kasil dadekake aku dadi dhokter. Nganti saiki, nganti aku wis nyandhang titel dhokter, wis kaping papat aku nyelakake teka ing papan iki. Amung saperlu kanggo sauwen-uwen nyawang warung mau. Warung sing nilasake lelakon kawuri. Tetela ora akeh sing owah, kalebu cacahe pelanggan kang ajeg wae jajan ana kono.
“Geneya?” batinku takon lirih.
Sing kaping papat iki aku emoh menyat saka papan iki tanpa nyaking wangsulan, geneya warung iki prasasat ora akeh owah-owahane. Mbok Rumi klawan Pak Tirta, tetep dadi pilihane murid-murid SMA kene. Kekarone uga tetep nuduhake lageyan sing nyenengake. Kalebu kang baku racikan sega ramese kang tetep nuduhake rasa kang khas. “Maknyus,” mangkono gotheke para pelanggane saiki nalika bubar nikmati sega ramese.
Malah sing nabetake kaelokan maneh, saben-saben aku mlebu warung iki tanggapan kang daktampa prasasat ora owah kaya sing kelakon sasuwene aku ing SMA ndhisik. Kuwi kang selot dadekake aku kudu sinau marang apa kang wis katindakake Mbok Rumi. Aku ngrasakake MBok Rumi klawan warung sega remes iku, pindhane tugu kang asring dadi tenger saben-saben lakune sejarah. Prasasat terminal Tirtonadi, tetep kuwawa dadi karaktere Solo nadyan wis maewu-ewu kendharaan mampir ing pangkone.
Jroning ati iki nuli kaslempitan rasa iri, geneya aku gagal. Lakonku ora bisa lumaku kadidene warung sega ramese Mbok Rumi. Kasujananan, rasa tresna lan padha sih-sinian kadidene limang taun kepungkur katon luntur. Citarasa lan apa wae kang winangun ndhisik kepara gapuk lan ilang gapite. Endita, ing wektu iki wis dudu memanising uripku kaya limang taun kepungkur. Malah dheweke wis ilang saka reroncening uripku. Musna. Amung minggetake sisa-sisa lelakon sing kala-kala malah nyipta tatu ing ati.
“Sepuranen, Rul. Aku kudu wani blaka, merga awakmu sing egois. Aku angel kanggo nerusake lelakon tresna kita,” siji setengah taun kepungkur gawang-gawang lumantar hp kandhane Endita banget nuwek dhadha. Lan sabanjure apa kang daksumelangake iku tetela dadi kasunyatan. Dudu perkara gampang ngreksa sawijine kasetyan temah dadi mutyara kang endah sajroning crita tresna. Luwih-luwih mring jaman saiki, kalebu aku, apadene Endita.
“Aku egois, En? Tuduhna mapan ana ngendi sipat iku?” jroning saweneh kalodhangan aku nate pitakon mrang Endita.
“Jakarta wis ngenggokake kawigatenmu marang aku, Rul.”
“Ah, angel. Pancen ora gampang aku sawutuhe ngesok kawigaten marang awakmu, End. Tugas kuliah lan kasibukan kampus, uga njaluk kawigatenku,” swaraku memelas.
“Nanging kowe uga bisa nindakake nalika ana SMA, Rul.”
“End, tulung pangertenmu. Ini perguruan tinggi, bukan SMA maneh,” swaraku sansaya memelas wektu kuwi. Ewadene, Endita tetep puguh. Embuh daya apa sing nyurung panemune lan dheweke nekat medhot rajutaning tresna. Gelar dhokter pancen kasil dakgegem, nanging Endita mrucut saka atiku. Sabanjure apa bener aku egois? Apa kosokbaline malah Endita sing egois. Iki perlune aku kudu meguru klawan Mbok Rumi. Ibarat tresna, warung iku ati, dene apa sing katindake marang para pelanggan temah krasan jajan ing warung iku pindhane laku ngupakara tresna. Mbok Rumi nuduhake kabisan iku.
Aku pancen kudu meguru klawan Mbok Rumi, geneya kuwawa melet klawan sakalir pelanggan temah setya jajan ana kono. Nadyanta ora diselaki tuwuh werna-werna warung ing kutha iki. Ora mung sing anyar, nanging uga luwih apik papane, malah-malah bisa wae luwih mirasa masakane. Ewasemana amarga katiyasane Mbok Rumi, para pelanggane tetep nyanthol ing warunge. Ora mung saiki, limang taun kepungkur, utawa ing mangsa kang luwih suwe maneh. Aku enggal kudu ngerteni apa resepe. Gilirane aku uga bakal ngerteni, endi sing kleru ing lakon tresnaku. Aku sing egois, apa satemene Endita sing malah egois.
“Lho nak Irul maneh?” tumanggape Mbok Rumi nalika ngerteni aku wis lungguh ing warunge. Semanak, semadulur lan kebak esem. Nadyan esem iku wiwit kacipta saka kulit-kulit kang selot kisut. “Eh, sepurane Pak Dhokter. Kok nak, lho,” tembunge klawan guyon.
“Mbok Rumi ora susah nganeh-anehi,” aku nyoba nyuwak swasana kaku.
“Dhahar Nak Irul?”
“Boten, es teh mawon,” kaya-kaya selera manganku durung teka.
Ora let suwe es teh wis cumepak ana ngarepku. Kanggo neles gulu enggal daksruput, lan rasa anyep rumambat ing gurung. Kaya sing kelakon, saliyane aku gandrung klawan sega rames, aku uga seneng klawan panganan kuno sing tansah cumepak ing warunge Mbok Rumi, yaiku mentho. Panganan cemilan iki kagawe saka tepung gaplek lan diwenehi kacang brol. Rasane gurih, kemripik, klawan bumbu kencur sing katon menjila, nambah sedhepe panganan cemilan sing ana wiwit kuno iki.
Kapinujon nalika swasana warung rada sepi. Niyatku wis gembleng nedya pitakon apa sing sasuwene iki nggubel ing dhadha nedya daklairake. Geneya warung iki kuwawa melet klawan para pelanggane? Temah pelanggan mau tetep setya, nadyan ing papan liya ana warung anyar kang bisa wae luwih penak lan enak. Wangsulane Mbok Rumi iku bakal dakanggo sangu ngungak klawan crita tresnaku. Papan endi sing salah, laku piye sing kleru, tundhone aku bakal ora kesandhung lelakon padha ing liya wektu.
“Gampang, Nak,” wangsulane Mbok Rumi cekak nalika nanggapi pitakonku. Wangsulan sing dadekake aku bingung. Katon penak wae wanita tuwa iku paweh wangsulan.
“Gampang? Gampang pripun, MBok?” aku nlesih.
“Akeh-akehe wong iku seneng ngomong ning ora seneng ngrungokake. Lha aku mbudidaya ing perangan sing seneng ngrungokake iku, Nak. Apa sing dikarepake pelanggan, apa sing disenengi pelanggan, kalebu apa wae sing ora disenengi pelanggan, iku kabeh sing dakrungokake,” pratelane Mbok Rumi terwaca.
“Lha yen wis seneng ngrungokake nuli gelem ngowahi jumbuh klawan apa kang dikarepake pelanggan. Jalaran kandhane wong pinter yen wong tuku iku harak ratu. Mula becik aku ora nggugu karepku dhewe, kudu manut klawan sing tuku,” makglong rasane atiku. Kaya ana trontong-trontong sunar rembulan madhangi ati. “Gelem ngrungokake,” batinku baleni.
“Satemene kewasisane wong mono dudu kadeleng saka anggone pinter ngomong, nanging karilane anggone sumadhiya ngrungu. Lan iki sithik kang bisa nindakake,” tambahe Mbok Rumi sing karasa ora jamak dikandhakake jejere bakul ning jejere filosof. Kanthi iki matambah-tambah rasa gumunku klawan bakul rames iki. Dadi bener apa sing karungu saka pinisepuh biyen, bathok balu isi madu. Mbokmanawa iku gegambarane Mbok Rumi. “Wong kang rila ngrungu katimbang kakehan ngomong iku lumrahe bisa ngemong, mula racake dadi pribadi kang nyenengake,” tambahe Mbok Rumi.
Gelem ngrungu lan bisa ngemong, loro tumindak sing dadi resepe Mbok Rumi geneya warung iku tetep eksis jroning persaingan para bakul pangan. “Yen ngono apa ana ing lakon tresnaku, loro tumindak iku? Gelem ngrungu lan bisa ngemong?” batinku nlesih nalika sorot srengenge sore iki nrabas jendhela kamarku. Angel kanggo mbiji, apa aku sawijine pribadi sing gelem ngrungu lan bisa ngemong. Gawang-gawang ing limang taun kepungkur nalika Endita ngalangi aku supaya ora nekat ing Jakarata, ewasemana aku ora ngrewes tembung iku. Semono uga nalika Endita njaluk kawigaten, ana-ana wae alesan sing dakgawe, lan …
“Coba, Nak Irul ngalah sithik. Mbokmanawa iku bisa dadi dalan nak Endita bisa nampa tumindak-tumindak kang wus Nak Irul tindakake,” pratelane Mbok Rumi awan mau, nalika aku blaka yen Endita selot ngadoh sak dina-dinaku. Apa bener mangkono? Nyoba dakgoleki nomere Endita sing tetep kasimpen ing hp-ku. Tumuli ukara-ukara sing salawase iki angel dakrakit nyoba dakrakit. Agahan tembung-tembung mau dakkirim. Aku ngarepake muga-muga bisa ngowahi pandugane Endita, sing sasuwene netepake aku minangka priya egois. Nanging nganti kliwat jam sewelas bengi sms sing dakkirim tetep durung ana jawaban. Tuwuh niyat kanggo ngebel Endita, nanging dakwurungake. Mbokmanawa pancen pinggeting ati sing kasandhang Endita wis angel katambani, lan wis ora ana wewengkon ing atine kanggo aku.
Gagat bangun aku digawe kaget klawan swara dering hp. Rikat daksaut.
“Endita? Iya iki aku?” atiku trataban nampa telpune Endita.
“Sepuranen aku Rul, salawase iki aku sing satemene egois, dudu kowe,” pratelane Endita alon ing sabrang. Krungu pratelan iku atiku njola. Geneya malah Endita sing ngaku egois. Sapandurat aku ora bisa paweh wangsulan. Sing rinasa ing ati ana maewu-ewu kembang mlathi mrajak ngebeki angen-angenku.
“Nanging aku tetep tresna marang awakmu, End,” embuh geneya tembung kuwi sing wekasane kepara ucul saka lambeku.
“Ah Irul, …”wangsulane Endita sajak ngampet rasa.
Tuwuh esem ing lambeku.
Sineksen tumuruhe bun esuk atiku kumlesik, “Matur nuwun Mbok Rumi.” (*)

Minggu, 28 Februari 2010

GURITAN : MBURU KATRESNAN

NGENTHA TRESNA


daktemu sendhang bening ing resik pasuryanmu
papan aku nglarung wijiling tresna
nggambar arah pepandoming kapang, sarta
nyandhi pepethan edi manising esemu

ing kene, sadawaning esuk lan sore
dakronce tembung, kareben awakmu nglenggana
aku pindha jaka tarub ing tepining panguripanmu
nunggu nganti kapan ngujiwatmu mboktinggal lelumban

sabubare rembulan wutuh nusuh ing palung wengi
apuranen aku sing kapeksa ngentha kasulistyanmu
nggambar tipis lambemu ing saben erem mripatku
awit aku kepengin tansah kelingan sliramu
ing eling apa ora eling

Karangdowo, Klaten, 2008

WIRAMA TRESNA

mbokmanawa sliramu gelem ngerti, nimas
ana landhep kapang kang bareng turuhing cahya rembulan
nedya lelangen marang wening sendhang ing dhadhamu
ngedum rerumpakan kaendahaning wirama tresna
kekanthen njlajah wewengkon birahi nganti gisiking wengi

nimas, nyata aku wus kegiwang mring lanciping kasamaran
wuru mring lintang kang manjing ing saripatining netramu
coba rungokna kumlesiking dhadha iki wis kekebakan manis
kaselak necep wewironing kanikmatan kang selot ngeglo
tinata cekli sauruting atimu sing winungkus meloking kluwung

nimas,
nanging kenapa sliramu tansah sesingidan ing walik sepi
nlusup ing barisaning alang-alang kang selot kentekan mangsa
ninggalake aku kijenan ing pinggiring impen-impen wengi
sing amung rinengga tetes bun kang nelesi ros-rosaning suket teki

mara gage, tumuruna nimas
mumpung rembulan durung kadohan anggone oncat
mumpung lintang isih sanggem nembangake roncen pemarem
lan tresna durung kebacut kepangan lamising jaman

Karangdowo, Klaten, 2008

NEGESAKE GEGADHANGAN

wis ilang watese
atiku lan atimu manjing ing ulegan tresna
nalika dakrangkul weweging awakmu ing peturon iki
nalika langit mendem cahya kluwung ing sore iku
setitekna, kita bakal tetep gegandhengan
nuju papan sing dadi gegadhangan

apa wus mbokgawe wangi lemah papan kita
nandur ewon kekarepan sing mblasah ing jogan omah
apa wus mbokgawe asri sacuwil pekarangan papan kita
ngracik wijine sih tresna

ing kene, ing sap-sapan napas jiwa
ya kawitane gegadhangan mapag urip sejati
ing antarane mulya apa cilaka
ing antarane sedhela apa langgeng
ing antarane urip apa pati

Karangdowo, Klaten, 2008

Senin, 15 Februari 2010

Cerkak Remaja : SI JAKET PINK

dening : A. Areif Rachman


“Ana warung sup buah ngarep sekolah, aku jaket pink. Taktunggu,”
Mangkono unine sms kang mentas wae diwaca Nirmala saka nomer anyar sing wis seminggu iki sms-e brondong ponsele. Jan-jane nilasake rasa anyel, mangkel, bete, mring cewek kelas loro SMA iku. Ewasemana jalaran ora mutungan, awit seminggu nggodha seminggu uga ora digape. Tan wurung nilasake rasa trenyuh. Ana satenggok tandha pitakon ing dhadhane Nirmala. Gek sapa bocah iki?
Rasa kepengin ngerti sapa satemene wong iku tan wurung nggodha cewek kanthi irung bangir iku, kanggo nanduki undang-undang liwat sms kasebut. Mula tuwuh krentege nedya jumangkah menyang warung sup buah sing uga langganane iku. Kepengin ngerti sapa satenane.
Durung ana limang jangkah, Nirmala nyandhet lakune. Ning njur apa pantes? Bocah wadon gampang kegodha ngono wae? Ah kuno ! Ewasemana tetepa ora gampang Nirmala gawe keputusan kanggo enggal jumangkah nuju warung sup buah mau. Kamangka kumlebat ing angen-angene bisa lungguh ana kursi, nemokake pawongan sing jaket pink, kenalan lan sabanjure terwaca cetha ngerteni mring sapa temene. Sapa ngerti yen gantheng, lumayan ta kena kanggo ngganteni Rio sing wis setaun ninggalake Nirmala ganti gandhengan liya.
Pancen, rasa-rasane Nirmala nyoba ngreka-ngreka sapa satemene wong iku. Paling ora ana bocah telu kang dinuga gawe rereka lan kuwawa nabetake rasa goreh ing atine Nirmala. Awit dheweke isih kelingan apa sing nate kelakon nalika durung suwe pisahan klawan Rio. Ponsele Nirmala uga kagodha dening nomer anyar. Nanging isine ukara-ukara nggodha lan nyemesi marang dheweke sing katinggal Rio. Bubar ditlesih lan kabongkar, ora nyana Desti. Kanca nunggal bangkune sing duwe hobi ngaco kuwi.
Mula ora aneh, yen ing kene wong sing sepisanan kacubriyani Nirmala yaiku Desti. Mula nalika pisan pindho tampa sms mau langsung wae Nirmala protes klawan Desti.
“Heh, tukang ngacau bikin olah maneh ya?” mangkono Nirmala nyemprot.
“Sapa sing ngaco?”
“Mungkir, ya. Iki tumindake sapa?” Nirmala ndhesek klawan nuduhake sms-sms sapirang-pirang sing wis ngubruk ditampa.
“Yakin, Mala, iki dudu aku. Yakin tenin. Sumprit diambung Ariel Peterpan ta wis,” sumpah-sumpah Desti nelakake yen dudu kang tumindak.
Nanggapi pratelane Desti sing nelakake kanthi mimik sing memelas, Nirmla wis ora bisa bangga. Mbokmanawa pancen bener, dudu Desti kang tumuindak. Mula kari ana wong loro kang dina iki dicubriyani. Sijine pancen cowok kang nunggal sekolah ing SMA iki nanging beda kelas. Cowok kuwi pancen embuh bener embuh luput, manut rasa rumangsane Nirmala asring migatekake dheweke. Sajake cowok mau kepengin kenal, nanging mbokmanawa saka angel golek cara kanggo pitepungan banjur migunakake cara iki. Lumantar serangan sms, lan wusanane ngajak patemon.
Dene sijine maneh uga cowok, ning sing iki ora mung beda kelas, nanging uga beda sekolahan. Cowok iki pancen nabet ing ati, mula nadyan patemon iku wis kliwat wektu nyandak telung sasinan jenenge isih cetha cinathet ing pojok atine Nirmala. Lukman, bocah saka SMA Tarujaya iku mujudake pribadi kang supel lan gampang kekancan. Katambah rupane sing ora nguciwani, dedege dhuwur lan kang ora kalah penting sugih prestasi.
Jalaran ketemune Nirmala klawan cowok iku ya nalika ing acara Lomba Maca Geguritan ing Pendhapa Kabupaten. Wektu kuwi Nirmala sing dipercaya makili sekolahane, semono uga Lukman dadi jago sekolah swasta favorite ing kutha iki. Lan wekasane kekarone kasil nyabet juwara siji, Nirmala juwara ing kelas wanita lan Lukman ing kelas priya. Kekarone selot akrab nalika ketemu maneh ana acara penyerahan hadiah lan piagam lomba kang uga kaleksanan ing Pendhapa Kabupaten sing katindakake dening Bupati.
Pancen wektu kuwi Lukman menehi nomere sing asli, ning sapa ngerti dheweke migunakake nomer anyar kanggo nggodha Nirmala. Ora kaselaki, yen ana rasa sengsem nadyan saliring bawang kang nabet ing pojok atine Nirmala marang Lukman. Ewasemana rasa mau datan kalilani dening Nirmala kanggo ngrembaka. Awit rasa tatu lan lara saka kadadeyan setaun kepungkur durung kentas saka atine, ya nalika Rio kanthi kejem ninggalake dheweke. Embuh, nganti saiki angel Nirmala netepake pribadining cowok sing kaduga ngganteni Rio. Rio tetep dadi pribadi sing nengsemake, nadyan wekasane cowok mau ninggalake ngono wae kanggo ganti kembang liya.
Embuh piye kabare priya iku nganti saiki Nirmala ya ora ngerti. Tur maneh dheweke ya ora kepengin ngerti. Sing dingerteni, sawise lulus saka SMA Rio nerusake kuliah ana kutha gudheg Ngayogyakarta. Ngendi penere kampuse, njupuk jurusan apa lan saiki nglajo apa ngekos, kabeh Nirmala wis ora ngerti. Mbokmanawa nganti saiki Nirmala terus mbudidaya sakuat-kuate dadekake Rio minangka crita lawas ing uripe. Crita sing ora perlu kababar maneh, crita sing pantese katutup lan kareben mandheg dadi kenang-kenangan. Nadyanta mungguhe Nirmala iku dudu perkara gampang.
Mula nalika wis seminggu iki ana nomer nggodha Nirmala, karacik niyat yen cewek iki kepengin nanduki pesen sing mentas wae ditampa. Nirmala ngarepake yen wong iki Lukman. Mbokmanawa Lukman bisa dadi Rio anyar kang kuwawa nambal atine. Jalaran sithik akeh Lukman nyedhaki pribadi sing tinemu ing Rio, malah ing segi-segi tinamtu siswa kelas loro SMA Tarujaya iki kepara luwih unggul. Tuladhane akeh presatasi sing karaih dening Lukman, mligine ing babagan seni. Nanging njur piye yen wong iku dudu Lukman, dudu kanca nunggal sekolahane, dudu wong-wong sing nate katepungi dheweke? Wong iku wong anyar kadidene nomere sing anyar? Atine Nirmala kairis.
Rasa mangu-mangu wiwit rumambat ing atine Nirmala. Sikil kang mulane nedya jumangkah nuju warung sup buah, bali kasandhet maneh. Pisan pindho dheweke baleni ngothak-athik tumrap sapa sejatine wong anyar katon iku. Sansaya suwe kapikir, sansaya akeh pelaku-pelaku anyar kang kacubriyani gawe gorehe atine. Kang mulane wong telu saiki malik dadi sapirang-pirang. Kalebu Nuti kanca sing kulina diajak rembugan perkara kegiatan sekolah, Tosan, cowok sing kulina paweh lagu-lagu anyar. Pradipta sing kulina ngajari gawe puisi. Tyasa sing critane saiki ngganteni dheweke ing atine Rio. Lan akeh maneh, sapirang-pirang…. Pelaku-pelaku kang nggodha angen-angene Nirmala.
Suwening suwe Nirmala dadi waleh. Kepengine kawigatene ora kajarah marang sapa satemene wong iku. “Ah, cuwek lah!” mangkono batine sabanjure. Kenapa kedadak pusing mikirake wong iseng. Mbokmanawa bab sing kaya ngene iki ora perlu digape. Ponsel pancen alat modheren kang canggih kanggo mbiyantu sesambungan, lan saiki wis mratah ing sapa wae, kalebu anak-anak sekolah. Piranti kang merdika lan datan winates. Mula sapa wae bisa nggodha mring nomere. Kayadene rupa-rupa kuis lan layanan ing layar kaca kae. Mula kanggo apa nanduki. Iku kang kalebu efek negative ponsel.
“Tulung, aku nunggu banget. Wis dakpesen siji, kanggo awakmu. Aku jaket pink.”
Dumadakan siji maneh sms teka, nuduhake ukara memelas.
Kapeksa Nirmala nyandhet jangkahe nalika wis bakal jumangkah ngedohi warung sup buah. Rasa anyel sing maune tumpuk-undhung ing dhadhane bali cuwer maneh. Embuh, sajake ora tega yen njur tumindak kejem marang wong iki. Banjur apa rugine yen nuli kanthi santun nanduki. Bisa wae nomer anyar iki tekane saka wong-wong kang seneng iseng, wong-wong sing karem nggodha wong liya. Nanging yen teka saka wong serius? Luwih-luwih manawa saka wong kang banget butuh pitulungan, apa iki dudu jeneng dosa? Dudu aran pecundang?
Yen niti saka ajege lan rutine anggone kepengin ngajak patemon, iki pancen golongane wong serius. Paling ora njaluk kawigaten sasuwene seminggu iku wis pantes lamun diarani bab iki dudu gawe-gawe, apamaneh dolanan utawa nggodha. Ing kene Nirmala weksane rumangsa katantang. Dheweke kepengin nuduhake yen dudu golongane pribadi sing jirih nggetih. Embuh sapa wong kuwi, setan belang apa setan plontheng nedya diadhepi. Nirmala emoh kagelan yen mbokmanawa wong iki kanca lawas sing pancen butuh pitulangan. Sapa ngerti, kagawa boboting sesanggan kang abot nganti dheweke ora wani blaka.
Warung sup buah sing dadi lengganane iku kapandeng landhep. Katone warung sing maune rame, saiki kaya-kaya wis katon lungse. Pancen rinasa kaku, abot lan rangu-rangu, nanging Nirmala tetep meksa sikile mantep jumangkah. Ora let suwe warung kuwi wis ana ngarepe. Saka njaba pancen wis katon pawongan nganggo jaket pink. Amung sapa wong iku Nirmala tetep angel nyipati, jalaran lungguhe ngungkurake lawangan. Rasa aneh rumambat ing dhadhane Nirmala, ewasemana cewek iki tetep krodha kanggo ngalahake rasa iku. Sikile wis mancik warung lan nuju ngarepe pawongan sing nganggo jaket pink iku.
Pawongan iku nungkulake raine, lan Nirmala nyoba lungguh kursi klawan sithik ngawasake sapa satenane wong iku.
“Nirmala….,” swara iku landhung ngundang jenenge.
Mak dhat, prasasat kasamber bledheg atine. Nirmala nratab bareng weruh sapa satenane wong iku. Nirmala ngurungake niyate kanggo lungguh ana kursi. Klawan rai abang ireng Nirmala kepengin mbradhat lan cepet-cepet ninggalake papan kono. Nanging niyat mau cabar, ana tangan prakosa kang nyandhet lengene.
“Nirmala, sepuranen aku. Aku salah,” swarane kebak rasa memelas.
Nirmala panggah meneng. Pisan maneh nyoba uwal saka tangan prakosa mau, nanging tetep kalah rosa.
“Kowe ngerti yen jaket iki saka sapa? Barang saka awakmu iki isih daksimpen, isih dakrumat lan saiki dakanggo. Ateges tresnaku ora nate luntur. Pancen sawetara wektu aku kena godha, nanging ati iki angel kanggo ngoncati awakmu, Mala,” maneh swara iku katon mrentul saka ati kang tulus.
“Njur Tyasa,” Nirmala nanduki kanthi swara sedul
“Dheweke iku racun ing lakon tresna iki, Mala,” swarane manteb.
Nirmala datan bisa bangga, budi sing rosa kanggo uwal saka tangan prakosa mau wiwit lilih. Kumlebat rasa trenyuh ngelun rasane Kenya kanthi irung bangir iki prasasat kinebur samodra madu. Mripate kaca-kaca, luh mrembes megung ing tlapukaning mripat. Iki dudu luh duhkita, nanging luh kabagyan awit mutiara kang ilang saiki wis bali maneh. Ora nyana yen sing ngreridhu ing dina-dina salawase iki dudu wong anyar katon, apamaneh Lukman. Kenangapa saiki lagi eling, sapa sing kulina nganggo jaket pink iku, datan liya Rio. (*)
(wis nate kamot ing majalah Jayabaya)

Crita Cekak : TUMURUHE BUN ESUK

Anggitane : Yan Tohari

Ya ing kene, ing warung sing isih prasaja iki. Warung kang tinemu ing ngarep sekolahan kang limang taun kepungkur nate dadi kenangan jroning lembar uripku. Wektu limang taun dadi wanci kang tan mingsra, jalaran ora akeh ngowahi apa wae ing warung iku. Ewasemana wektu semono kuwi tetela kuwawa nilasake mawarna-warna lakon kang ngrenggani uripku. Wektu kang wus nyiptakake owah-owahan sing akeh, matumpuk-tumpuk. Neka-neka lan sing banget nyekethem rasa.
“Kowe tetep bakal ninggal kutha iki kanggo nguyak gelar dhokter iku, Rul?” pitakone Endita marang aku sabubare acara perpisahan sekolahan limang taun kepungkur.
“Kuwi pancen wis dakrancang suwe, End,” aku manthuk manteb.
“Tetep Jakarta?” mripat endah kuwi kabuncang adoh.
“Njur ngendi maneh? Ngiras pantes aku nedya ngerteni satemene apa sing narik ing kutha iku, katimbang Solo sing ngene-ngene terus.”
Wangsulan iku kang kuwawa nggarit pasuryane Endita kaya kasiram labor abang. Aku ngerti mrentul rasa sujana kang sagunung gedhene. Aku ngerti niyatku iki prasasat kasedhihan tumrap dheweke. Lan aku ngerti amarga dheweke ora mungkin ninggal kutha budaya iki temah ora ngrilani awakku nerusake kuliah ana Jakarta.
Limang taun kepungkur, ing warung sega rames iku aku bisa paweh alesan temah Endita ikhlas nampa aku tumuju Jakarta. Aku nguyak cita-cita kang suwe katandur ing angenku dening wongtuwaku. Wektu limang taun kasil dadekake aku dadi dhokter. Nganti saiki, nganti aku wis nyandhang titel dhokter, wis kaping papat aku nyelakake teka ing papan iki. Amung saperlu kanggo sauwen-uwen nyawang warung mau. Warung sing nilasake lelakon kawuri. Tetela ora akeh sing owah, kalebu cacahe pelanggan kang ajeg wae jajan ana kono.
“Geneya?” batinku takon lirih.
Sing kaping papat iki aku emoh menyat saka papan iki tanpa nyaking wangsulan, geneya warung iki prasasat ora akeh owah-owahane. Mbok Rumi klawan Pak Tirta, tetep dadi pilihane murid-murid SMA kene. Kekarone uga tetep nuduhake lageyan sing nyenengake. Kalebu kang baku racikan sega ramese kang tetep nuduhake rasa kang khas. “Maknyus,” mangkono gotheke para pelanggane saiki nalika bubar nikmati sega ramese.
Malah sing nabetake kaelokan maneh, saben-saben aku mlebu warung iki tanggapan kang daktampa prasasat ora owah kaya sing kelakon sasuwene aku ing SMA ndhisik. Kuwi kang selot dadekake aku kudu sinau marang apa kang wis katindakake Mbok Rumi. Aku ngrasakake MBok Rumi klawan warung sega remes iku, pindhane tugu kang asring dadi tenger saben-saben lakune sejarah. Prasasat terminal Tirtonadi, tetep kuwawa dadi karaktere Solo nadyan wis maewu-ewu kendharaan mampir ing pangkone.
Jroning ati iki nuli kaslempitan rasa iri, geneya aku gagal. Lakonku ora bisa lumaku kadidene warung sega ramese Mbok Rumi. Kasujananan, rasa tresna lan padha sih-sinian kadidene limang taun kepungkur katon luntur. Citarasa lan apa wae kang winangun ndhisik kepara gapuk lan ilang gapite. Endita, ing wektu iki wis dudu memanising uripku kaya limang taun kepungkur. Malah dheweke wis ilang saka reroncening uripku. Musna. Amung minggetake sisa-sisa lelakon sing kala-kala malah nyipta tatu ing ati.
“Sepuranen, Rul. Aku kudu wani blaka, merga awakmu sing egois. Aku angel kanggo nerusake lelakon tresna kita,” siji setengah taun kepungkur gawang-gawang lumantar hp kandhane Endita banget nuwek dhadha. Lan sabanjure apa kang daksumelangake iku tetela dadi kasunyatan. Dudu perkara gampang ngreksa sawijine kasetyan temah dadi mutyara kang endah sajroning crita tresna. Luwih-luwih mring jaman saiki, kalebu aku, apadene Endita.
“Aku egois, En? Tuduhna mapan ana ngendi sipat iku?” jroning saweneh kalodhangan aku nate pitakon mrang Endita.
“Jakarta wis ngenggokake kawigatenmu marang aku, Rul.”
“Ah, angel. Pancen ora gampang aku sawutuhe ngesok kawigaten marang awakmu, End. Tugas kuliah lan kasibukan kampus, uga njaluk kawigatenku,” swaraku memelas.
“Nanging kowe uga bisa nindakake nalika ana SMA, Rul.”
“End, tulung pangertenmu. Ini perguruan tinggi, bukan SMA maneh,” swaraku sansaya memelas wektu kuwi. Ewadene, Endita tetep puguh. Embuh daya apa sing nyurung panemune lan dheweke nekat medhot rajutaning tresna. Gelar dhokter pancen kasil dakgegem, nanging Endita mrucut saka atiku. Sabanjure apa bener aku egois? Apa kosokbaline malah Endita sing egois. Iki perlune aku kudu meguru klawan Mbok Rumi. Ibarat tresna, warung iku ati, dene apa sing katindake marang para pelanggan temah krasan jajan ing warung iku pindhane laku ngupakara tresna. Mbok Rumi nuduhake kabisan iku.
Aku pancen kudu meguru klawan Mbok Rumi, geneya kuwawa melet klawan sakalir pelanggan temah setya jajan ana kono. Nadyanta ora diselaki tuwuh werna-werna warung ing kutha iki. Ora mung sing anyar, nanging uga luwih apik papane, malah-malah bisa wae luwih mirasa masakane. Ewasemana amarga katiyasane Mbok Rumi, para pelanggane tetep nyanthol ing warunge. Ora mung saiki, limang taun kepungkur, utawa ing mangsa kang luwih suwe maneh. Aku enggal kudu ngerteni apa resepe. Gilirane aku uga bakal ngerteni, endi sing kleru ing lakon tresnaku. Aku sing egois, apa satemene Endita sing malah egois.
“Lho nak Irul maneh?” tumanggape Mbok Rumi nalika ngerteni aku wis lungguh ing warunge. Semanak, semadulur lan kebak esem. Nadyan esem iku wiwit kacipta saka kulit-kulit kang selot kisut. “Eh, sepurane Pak Dhokter. Kok nak, lho,” tembunge klawan guyon.
“Mbok Rumi ora susah nganeh-anehi,” aku nyoba nyuwak swasana kaku.
“Dhahar Nak Irul?”
“Boten, es teh mawon,” kaya-kaya selera manganku durung teka.
Ora let suwe es teh wis cumepak ana ngarepku. Kanggo neles gulu enggal daksruput, lan rasa anyep rumambat ing gurung. Kaya sing kelakon, saliyane aku gandrung klawan sega rames, aku uga seneng klawan panganan kuno sing tansah cumepak ing warunge Mbok Rumi, yaiku mentho. Panganan cemilan iki kagawe saka tepung gaplek lan diwenehi kacang brol. Rasane gurih, kemripik, klawan bumbu kencur sing katon menjila, nambah sedhepe panganan cemilan sing ana wiwit kuno iki.
Kapinujon nalika swasana warung rada sepi. Niyatku wis gembleng nedya pitakon apa sing sasuwene iki nggubel ing dhadha nedya daklairake. Geneya warung iki kuwawa melet klawan para pelanggane? Temah pelanggan mau tetep setya, nadyan ing papan liya ana warung anyar kang bisa wae luwih penak lan enak. Wangsulane Mbok Rumi iku bakal dakanggo sangu ngungak klawan crita tresnaku. Papan endi sing salah, laku piye sing kleru, tundhone aku bakal ora kesandhung lelakon padha ing liya wektu.
“Gampang, Nak,” wangsulane Mbok Rumi cekak nalika nanggapi pitakonku. Wangsulan sing dadekake aku bingung. Katon penak wae wanita tuwa iku paweh wangsulan.
“Gampang? Gampang pripun, MBok?” aku nlesih.
“Akeh-akehe wong iku seneng ngomong ning ora seneng ngrungokake. Lha aku mbudidaya ing perangan sing seneng ngrungokake iku, Nak. Apa sing dikarepake pelanggan, apa sing disenengi pelanggan, kalebu apa wae sing ora disenengi pelanggan, iku kabeh sing dakrungokake,” pratelane Mbok Rumi terwaca.
“Lha yen wis seneng ngrungokake nuli gelem ngowahi jumbuh klawan apa kang dikarepake pelanggan. Jalaran kandhane wong pinter yen wong tuku iku harak ratu. Mula becik aku ora nggugu karepku dhewe, kudu manut klawan sing tuku,” makglong rasane atiku. Kaya ana trontong-trontong sunar rembulan madhangi ati. “Gelem ngrungokake,” batinku baleni.
“Satemene kewasisane wong mono dudu kadeleng saka anggone pinter ngomong, nanging karilane anggone sumadhiya ngrungu. Lan iki sithik kang bisa nindakake,” tambahe Mbok Rumi sing karasa ora jamak dikandhakake jejere bakul ning jejere filosof. Kanthi iki matambah-tambah rasa gumunku klawan bakul rames iki. Dadi bener apa sing karungu saka pinisepuh biyen, bathok balu isi madu. Mbokmanawa iku gegambarane Mbok Rumi. “Wong kang rila ngrungu katimbang kakehan ngomong iku lumrahe bisa ngemong, mula racake dadi pribadi kang nyenengake,” tambahe Mbok Rumi.
Gelem ngrungu lan bisa ngemong, loro tumindak sing dadi resepe Mbok Rumi geneya warung iku tetep eksis jroning persaingan para bakul pangan. “Yen ngono apa ana ing lakon tresnaku, loro tumindak iku? Gelem ngrungu lan bisa ngemong?” batinku nlesih nalika sorot srengenge sore iki nrabas jendhela kamarku. Angel kanggo mbiji, apa aku sawijine pribadi sing gelem ngrungu lan bisa ngemong. Gawang-gawang ing limang taun kepungkur nalika Endita ngalangi aku supaya ora nekat ing Jakarata, ewasemana aku ora ngrewes tembung iku. Semono uga nalika Endita njaluk kawigaten, ana-ana wae alesan sing dakgawe, lan …
“Coba, Nak Irul ngalah sithik. Mbokmanawa iku bisa dadi dalan nak Endita bisa nampa tumindak-tumindak kang wus Nak Irul tindakake,” pratelane Mbok Rumi awan mau, nalika aku blaka yen Endita selot ngadoh sak dina-dinaku. Apa bener mangkono? Nyoba dakgoleki nomere Endita sing tetep kasimpen ing hp-ku. Tumuli ukara-ukara sing salawase iki angel dakrakit nyoba dakrakit. Agahan tembung-tembung mau dakkirim. Aku ngarepake muga-muga bisa ngowahi pandugane Endita, sing sasuwene netepake aku minangka priya egois. Nanging nganti kliwat jam sewelas bengi sms sing dakkirim tetep durung ana jawaban. Tuwuh niyat kanggo ngebel Endita, nanging dakwurungake. Mbokmanawa pancen pinggeting ati sing kasandhang Endita wis angel katambani, lan wis ora ana wewengkon ing atine kanggo aku.
Gagat bangun aku digawe kaget klawan swara dering hp. Rikat daksaut.
“Endita? Iya iki aku?” atiku trataban nampa telpune Endita.
“Sepuranen aku Rul, salawase iki aku sing satemene egois, dudu kowe,” pratelane Endita alon ing sabrang. Krungu pratelan iku atiku njola. Geneya malah Endita sing ngaku egois. Sapandurat aku ora bisa paweh wangsulan. Sing rinasa ing ati ana maewu-ewu kembang mlathi mrajak ngebeki angen-angenku.
“Nanging aku tetep tresna marang awakmu, End,” embuh geneya tembung kuwi sing wekasane kepara ucul saka lambeku.
“Ah Irul, …”wangsulane Endita sajak ngampet rasa.
Tuwuh esem ing lambeku.
Sineksen tumuruhe bun esuk atiku kumlesik, “Matur nuwun Mbok Rumi.” (*)

Selasa, 09 Februari 2010

GEGURITAN SIH KATRESNAN

NGENTHA TRESNA


daktemu sendhang bening ing resik pasuryanmu
papan aku nglarung wijiling tresna
nggambar arah pepandoming kapang, sarta
nyandhi pepethan edi manising esemu

ing kene, sadawaning esuk lan sore
dakronce tembung, kareben awakmu nglenggana
aku pindha jaka tarub ing tepining panguripanmu
nunggu nganti kapan ngujiwatmu mboktinggal lelumban

sabubare rembulan wutuh nusuh ing palung wengi
apuranen aku sing kapeksa ngentha kasulistyanmu
nggambar tipis lambemu ing saben erem mripatku
awit aku kepengin tansah kelingan sliramu
ing eling apa ora eling

Karangdowo, Klaten, 2008

WIRAMA TRESNA

mbokmanawa sliramu gelem ngerti, nimas
ana landhep kapang kang bareng turuhing cahya rembulan
nedya lelangen marang wening sendhang ing dhadhamu
ngedum rerumpakan kaendahaning wirama tresna
kekanthen njlajah wewengkon birahi nganti gisiking wengi

nimas, nyata aku wus kegiwang mring lanciping kasamaran
wuru mring lintang kang manjing ing saripatining netramu
coba rungokna kumlesiking dhadha iki wis kekebakan manis
kaselak necep wewironing kanikmatan kang selot ngeglo
tinata cekli sauruting atimu sing winungkus meloking kluwung

nimas,
nanging kenapa sliramu tansah sesingidan ing walik sepi
nlusup ing barisaning alang-alang kang selot kentekan mangsa
ninggalake aku kijenan ing pinggiring impen-impen wengi
sing amung rinengga tetes bun kang nelesi ros-rosaning suket teki

mara gage, tumuruna nimas
mumpung rembulan durung kadohan anggone oncat
mumpung lintang isih sanggem nembangake roncen pemarem
lan tresna durung kebacut kepangan lamising jaman

Karangdowo, Klaten, 2008

NEGESAKE GEGADHANGAN

wis ilang watese
atiku lan atimu manjing ing ulegan tresna
nalika dakrangkul weweging awakmu ing peturon iki
nalika langit mendem cahya kluwung ing sore iku
setitekna, kita bakal tetep gegandhengan
nuju papan sing dadi gegadhangan

apa wus mbokgawe wangi lemah papan kita
nandur ewon kekarepan sing mblasah ing jogan omah
apa wus mbokgawe asri sacuwil pekarangan papan kita
ngracik wijine sih tresna

ing kene, ing sap-sapan napas jiwa
ya kawitane gegadhangan mapag urip sejati
ing antarane mulya apa cilaka
ing antarane sedhela apa langgeng
ing antarane urip apa pati

Karangdowo, Klaten, 2008

Senin, 08 Februari 2010

GEGURITAN : YAN TOHARI

WENGISING ATI

nalikane suket-suket prigis karenggut angin katiga
impenku kasangkut ing pang trembesi
saglugut ati durung katekan miyak esemmu
geneya ing mangsa iki aku kudu ijen negesake wektu

rilanana aku milihi keceran dedonga, sarta
memitran klawan wengi katlesepan wening bun
saiba angel ngetutake laku sepi sing pijer samun
nawakake sagarit pawarta kapang saka kampung

nimas, endi maneh sacangkir omben manis
sumurupa ketiga wis sawetara nggerus isi dhadha
kareben awan iki tembang-tembang kaprungu
milihi swasana sing pingget dening kawengisan ati

Karangdowo, Klaten, 2007


ING JANGKAH SING ISIH KADHUNG

ing jangkah sing isih kadhung
ngendi dununge urip untung
kabegjan sasat kelangan keblat
uripku uripmu tembang urip-uripan
cilik entheng kumanthil ing pang-pang papringan

bapak simbok wis kesel nggone tombok
jaman kerep slenca ing petungan
banjur kapan tekane ratu adil
kang bisa muter taman sriwedari
cumondhok ing saben ati

marang panjenengan sing ngagem iket dhablang
ing gigir sinengkelitan keris warangka ladrang
sora seru santering wicara selot angel kategesake
nganti jaman kerep udan salahmangsa
atiku durung tamat jlumati sakeret pakartimu

ing kene sing sumisa
amung sagedheng rasa panarima
kanggo dulang anak bojo kita
sing wis mataun-taun keliren dening rasaning rasa

Karangdowo, Klaten, 2008


APA ISIH PAEDAH

apa isih paedah dakukir rembulan
kanggo mbasuh sedhih lan perih
temah wengi datan ana maneh pedhut
kang dadekake ati selot kepagut ing guna dhesti

apa isih paedah dakreronce cahya lintang
kanggo nuruh rasa getir kang nggubet dhadha
temah wengi datan ana maneh impen aneh
kang pijer nglelaga kanthi tembung-tembung ngayawara

ing kene,
ing wanci dupa isih kumelun
kembang-kembang kaduga ngimpu gandrung
sarakit sesaji lan rapal tambal sakalir sengkala
kepengin dakjarwakake sapantha jelih pangaru-ara

wis puluhan mangsa angen nusuh ing tlatah samun
pindhane carang gapuk kanggo urup-urup keren
jangkahku keblasuk marang poyang-payingan
kabeh wektu lebur kontal ing gelak mangsa
temah urip panggah ketangsang awang-awang

Karangdowo, Klaten, 2008


WOLAK-WALIKING JAMAN

wis ora ana maneh tepa selira
ing atiku apadene atimu
ing dina iki sakehing laladan malik pabaratan
endi curigamu iki curigaku
kita tegesake saben tembung kanthi pepetungan

wis ora ana maneh budaya
ing latarku apadene latarmu
malik dadi gedhung-gedhung tundha perwasa
ngilepake ringkihe joglo lan gapuke pagupon
medhotake gang pekaranganku lan pekaranganmu

aja mboktangisi,
jalaran kudu mangkono lakune kodrat
kita wekasane amung bakal dadi perangan lawas
kang kudu rila kaganti dening rerenggan anyar
temah jejibahan bakal paripurna

Karangdowo, Klaten, 2008

MARANG SIBU

marang igamu sing kajejet sorot cahya rembulan
papan edhum ngeyupake panasing panguripan
nyelehake sagerbong sesanggan lan maewu tatu
nawarake rerungkutane sukerta, saengga
aku gandrung ing sewu taun pamengkumu

bun kang ketes saka payudaramu prasasat segara madu
papanku gegojegan sinambi necep aruming cahya lintang
wus kandel kulit wus atos balung asil rerajutane sih tresnmu
o, satemene aku mutiara jroning geter ilining getihmu

sibu, awit saka sorot sunar netramu
aku wani nantang tekaning dina sesuk
nyrambah jembaring laladan sing katuwuhan alas cecangkriman
negesake urip kanthi rapal mantra-mantramu
kang mboktlesepake ing sela-selane keteg jantungku

sibu, awit saka ririh ruruh raras pangandikamu
nedya dakadhepi pangamuke sukerta jaman
njlumati wewadine dina mbaka dina kanthi dhadha ngliga
ngasorake rungkut rengket rungketing panguripan
kanthi ampuhing rasa eling klawan waspada

Karangdowo, Klaten, 2008


SEPULUH TAUN REFORMASI

natkala sore nggarisake lamis turut cakrawala
dakjawil sliramu lumantar gurit ukara sinanggit
sumurupa ing dalan iki ing wayah dungkap san gawe
duksemana, ing bunderan prapatan gladhak
maewu todhi mbedhah kutha kang kebak warisan iki
dene saiki apa awakmu wus lali?

durung suwe apa sing kinaran reformasi
ganda budaya iku malik dadi wenguring dahana
toko-toko kajarah, dalan-dalan dadi samodrane tembung misuh
sliramu lan aku mbujung larahan warta duhkita
pirang-pirang kuwandha dadi kayu obonge jaman

banjur apa kang kuwawa kaundhuh
apa mung ilining banyu bengawan
sing ngelem saben mangsa udan?

kaya ora ana owah-owahan sepuluh taun babahane jaman
beras, lenga, lan sakathahing rega kaya sansaya nglelaga
utang-utang kita amung bisa kasaur klawan tali plastik
sing kudu njiret gulu dening tangan-tangan kita dhewe

apa mangkono garising nasib
sing tinulis ing panguripan kita
dudu kalah
nanging salah ?

apa mangkono garising nasib
sing tinulis ing panguripan kita
dudu owah-owahan
nanging nandhang owah ?

Karangdowo, Klaten, 2008


SANGAREPE BENTENG VASTENBURG

sapandurat aku kangelan ngluru werdining esemu
sangarepe benteng vastenburg sliramu banget ngujiwat
prasasat wangine lumut kang nlusupi tembok tuwa
kapangku mbedhal nggeget lambemu sing panggah abang
lan kita kekanthen lumayu sauruting alun-alun lor
nyritakake ukiraning tresna
sing kapacak ing wengi-wengi nakal

rikala rembulan aclum sapucuke ringin kembar
kanthi apa aku kudu blaka mring awakmu
samangsane gurit wis dadi barang aneh ing jaman iki
salawase iki – uripku maksih katlikung rasa bingung

nimas, durung asat isine gelas
ayo bareng kita nikmati wengi sing mendem kadursilan jaman
kanggo apa sliramu ngersula mring kanyatan sing ora nate adil
kapan wae urip bakal mangkene lakone
ibarat esemu
sing tansah nggodha
lakune pandom wengi

ibarat swara angin
sing tansah nggondhol lebu-lebu ratan gedhe
embuh mengko ngendi tibane…

Karangdowo, Klaten, 2008

SEJATINING ESEM

magurua klawan Ken Dedes nareswari Singasari
sing ing lambene cinipta esem sejatining esem
pinulas otot-bayune birahi lan landhep curiga
kongas keladuk sekti ngujiwatake jejangka
rikala jaman wis tan metungake sawernaning ruwang lan wektu
apamaneh sing luwih perwasa saliyane esem lan pepaeka

magurua klawan Ken Dedes sing kekidungan mantra gendam
nyidikara karosane Tunggul Ametung kanthi sejatine esem
temah kekuncaran malik dadi kanisthan

sumurupa dina iki endahe donya amung sagegem ukara
kagendhingake ledhek kethek lan kenya-kenya dhiskotik
sumebar ana dalan-dalan lawas lan gedhung-gedhung tuwa
nadyan mbokuber ing lembar-lembar kamus susastra
tan ana sijia rumus kang wasis ngreka abang-ijone donya
kajaba eseme Ken Dedes sing nitis ing pojok-pojok kutha

Karangdowo, Klaten 1997


NEGESI LUMUNTURING SEPI


aku kepengin dadi suket teki mrajik urut gariting mangsa
ngrenggani dalan panuwunan kanthi cundhuk bening bun esuk
tetembangan bareng tumiyunge godhong-godhong wektu
ngancani gagat rina sesendhonan klawan bocah-bocah angon

dakkirih rasa kanggo negesi lumunturing sepi, klawan sliramu
mbebedhag ing rungkuting wengi mbeburu klawan keteging samun
mara prasajaa, mumpung tlatah iki durung kinepung lendhot porong
sarta isih kasisan damar kang dadi colok methik pentil-penting pasemon
dadekna wengiku kapanjingan ewon ampuhing japa mantra

aku kepengin dadi suket teki thukul ing sela-selaning rungkut nasib
ngajak sliramu mbujung cecangkriman: endi endahing sih tresna
nyantang baita samun nyabrangi wewadining kedhung panguripan
: apa isih ana ing jaman iki, sepi kinarya santang njajagi jatidhiri
nylulupi mutiara jiwa kang selot ambles ana hera-heruning dhusta?

Karangdowo, Klaten, Januari 2007


TETALINING ADI

lumantar sumiyuting angin daklari swaramu
dumeling saselaning kumitir alang-alang
kang sesendhonan klawan cahya lintang
e, tetela endah ukara kang tinata ing ros-ros pasuketan
pranyata sih tresna iku minangka tetalining adi
yen getihku getihmu mrentul saka tuk sumber kalbu

aja mbokumbar ati iki nlasaki lelungidaning pepalang
gendera-gendera ora cukup dadi pacaking tengara
njlumati wewadi sing kita temoni sadawaning rina-wengi
maragage kita ngempakake sih tresna dadi ujubing senjata
upama sliramu gendhewa, aku kang dadi warastra

Karangdowo, Klaten, 2002